Raja Semut Hitam

Bahagia Tanpamu

Bahagia Tanpamu
Sukacita Panen Rumput Laut

Selasa, 15 September 2009

SALON

















09.15 Wib

“Pakai air panas atau dingin Pak?”

“Air panas saja”

Segera kubilas rambut pria bertampang India tersebut, yang aksen bahasa Indonesianya belum begitu bagus. Sesekali kuurut kepalanya yang membuatnya dimanjakan dengan sentuhan tanganku, dan entah sudah berapa kepala yang pernah kubilas. Kubersihkan rambutnya, lalu menutupinya dengan anduk dan memotong rambut sesuai mode keinginannya.

“Terimakasih!” Sahutnya sambil menyalamkan selembar uang kertas ketanganku. Sejenak ia berkaca dengan raut bangga akan penampilan rambutnya yang baru.

Aku duduk ditempat tunggu para peñata rambut yang kebanyakan berjenis kelamin yang tidak pernah diciptakan sang Kuasa. Iya, bencong. Entah kenapa mereka sangat suka berbicara serta bergaya kewanita-wanitaan. Aku tahu Rico, sebenarnya dua tahun yang lalu, saat masuk sebagai pegawai di Salon ini tidak bergaya kemayu dan kewanitaan, tapi itulah hidup yang mudah terpengaruh dari lingkungan tempat dimana kita berada. Sahutku dalam hati. Aku coba rogoh uang yang diberikan oleh pria tadi. Wah.. lumayan besar. Sahutku dalam hati. Aku tidak menyangka bahwa ia memberikan uang seratus ribu, padahal potong rambut di salon ini harganya hanya limapuluh ribu.

11.05 Wib

Tiba-tiba datang langganan Rico, yang terkenal baik dan hampir setiap minggu ke salon kami, entah cat rambut atau Pedi Medi atau sekedar Massage. Kami semua senang kalau Tante Dina yang datang, ia selalu tampak ceria sambil membagikan makanan ringan pada kami. Minggu lalu coklat dari Cina, Roti dari Singapura dan kaos oblong dari berbagai Negara, walaupun kaos tresebut hanya akan diberikan pada Rico.

12.12 Wib

Waktu kami untuk istirahat. Aku sengaja tidak bersama dengan teman-teman kerjaku setiap makan siang. Mereka selalu makan di restoran samping salon kami “SALON EDWINA”. Yang harganya bisa untuk makan lima kali di Warteg belakang Mall ini, meskipun harus melewati beberapa gang dan lumayan jauh dari tempat kerjaku.

13.22 Wib

Aku hanya menunggu giliran. Kulihat sepasang kekasih yang masuk salon kami. Coba kubayangkan betapa indahnya hubungan mereka. Pria dengan wajah ganteng dan wanita yang sangat cantik. Mereka selalu saling merangkul seakan tidak ingin lepas walau sesaat. Pria tersebut mengantar sampai kursi tata rias sebelum rambutnya di cat. Aku bayangkan kebahagian mereka sambil sesekali melihat wajah ayu kekasihnya.

13.55 Wib

“Dewin !!” sahut bosku saat melihat wanita muda yang masuk ke salon kami. Ternyata mbak Cindy, memang wanita ini adalah pelangganku sejak aku kerja di salon ini. Ia langsung duduk dan aku segera menghampirinya dengan sapaan ringan.

“Pakai Air dingin !!”

“Siap Mbak Cindy..”

Ku usap rambutnya dengan lembut. Aku tahu dia langgananku paling baik, selalu memberikan tips besar walaupun tidak sebesar tips yang kudapat dari pria bertampang India tadi pagi. Aku melihatnya memejamkan mata, yang membuatku leluasa memandangi wajahnya yang cantik. Kucoba mendekatkan diri dengan pertanyaan ringan.

“Mana Om Rendra Mbak?? Kok nggak diantar.”

Wanita itu tidak menjawab pertanyaanku. Aku tidak lanjutkan lagi pertanyaan yang serba basa-basi. Ia masih memejamkan mata saat aku mengambil samphoo kesukaannya. Kubilas rambutnya yang hitam dan indah. Aku tiba-tiba melihat airmata mengalir di pipi manisnya. Ah… aku tidak ingin lagi sekedar bertanya. Mungkin ia sedang mengalami masalah hidup yang sangat berat atau tekanan berat dalam hatinya. Aku coba lakukan apa yang menjadi tugasku di salon ini.

“Sudah Mbak!! Mau dibuat model apa rambutnya?” sahutku dengan lembut kepada Mbak Cindy yang sedang bersedih.

“Bilas saja lagi. Sahutnya dengan nada pelan sambil menyandarkan kepalanya ke atas Wastafel pembilas rambut”

Aku melihat airmatanya terus mengalir. Wajahku yang ceria berubah jadi iba, iba dan haru yang dalam. Ingin aku membantu meringankan bebannya, tapi belum tentu aku mampu, belum tentu aku dapat memberikan solusi yang masalahnya saja aku tidak tahu. Aku sendiri saat ini tidak bisa menanggung masalahku yang sangat rumit.

“Sudah, keringkan saja!” sahutnya dengan lembut.

“Ia Mbak!!”

Lalu ia pergi dan memberiku Tips yang sangat besar. Baru kali ini aku mendapat Tips terbesar, selama aku bekerja di salon “EDWINA” ini. Kusimpan tiga lembaran seratus ribu dari Mbak Cindy.

14.25 Wib

Aku duduk di ruang tunggu para pegawai salon ini. Ah ..memang disalon ini sangat misterius. Gumulku dalam hati. Kadang mereka datang dengan tawa dan sukacita, kadang juga mereka datang dengan tanpa kata-kata dan kini, ada yang datang dengan tangis. Entah tangis karena sesak, tangis karena patah hati atau tekanan lainnya, aku tidak tahu. Aku selalu bertemu dengan orang-orang yang tak pernah kuketahui latarbelakangnya, tak pernah kuketahui apa pekerjaannya, profesinya dan dimana mereka tinggal.

Ah… hanya beberapa langganan saja yang kuketahui identitasnya, itupun hanya perkenalan sampai sebatas nama saja, selain itu, aku tidak mengenal mereka. Mungkin mereka istri pejabat, mungkin anak orang kaya atau istri simpanan. Aku tidak pernah tahu. Kadang aku berpikir, saat melihat wanita-wanita seksi dengan pakaian dan celana yang sangat minim, dengan tawa yang hampa tanpa terselip luapan bahagia, seperti tersimpan luka. Mungkinkah mereka wanita-wanita nakal atau istri-istri korupsi di negeri ini. Ah… itu bukan urusanku. Sahutku dalam hati. Mereka hanya singgah untuk mempercantik diri, menata rambut dengan penampilan baru serta berbincang-bincang. Mungkin mereka kurang percaya diri kalau tidak menata rambut ke salon atau memang jaman yang sudah berubah, karena salon dijadikan ajang pertemuan, gossip dan membicarakan hal yang kadang-kadang terlampau liar untuk diperbincangkan ditempat lain. Mungkin juga mereka bosan dirumah menunggu suami yang pulang kerja sore yang kadang sampai larut malam.

Kadang aku merasakan bahagia, saat melihat pengunjung yang datang dengan berpasangan. Bisa kurasakan bahagia itu mengalir menyentuhku. Kadang aku teringat akan kekasihku, yang dulu juga kesukaannya mengunjungi salon untuk mempercantik diri, padahal tanpa ke salon pun, ia sudah sangat cantik bagiku, sudah menjadi idaman bagiku. Aku mencintai dia bukan karena mode rambutnya yang selalu berganti setiap satu bulan sekali atau berbagai mode yang ditawarkan oleh juru rias. Tapi, itulah dia, wanita pujaanku yang mungkin sekarang sedang berada di salon, mungkin sekarang sedang berada dihadapan kaca untuk mempercantik diri. Ah… Sudah hampir satu tahun aku tidak bertemu denganmu.

14.55 Wib

Aku berbincang dengan wanita yang sedang menunggu kekasihnya potong rambut.

“Nggak sekalian Mbak pedi medi?”

“Tidak Mas. Aku tidak suka Pedi Medi atau menata penampilan dengan menghambur-hamburkan banyak uang.”

“Jadi, Mbak Nggak pernah ke salon sekedar potong rambut?”

“Boleh dibilang sangat jarang, paling lima Bulan sekali, itupun kalau aku lagi rajin. Aku lebih sering mengantar kekasihku. Ia hampir tiap dua minggu sekali datang ke salon!!”

“Wahh..beda banget ya dengan Mbak!! Justru jadi cowoknya yang sering datang ke salon.”

“Ah..keinginan manusia memang berbeda-beda. Aku justru merasa, hanya topeng datang ke salon, yang kecantikannya lahir dari tangan-tangan kreatif peñata rambut” sahutnya dengan percaya diri.

“Iya Mbak, betul, aku sangat setuju, kita harus percaya diri dengan apa yang sudah diciptakan Tuhan atas hidup kita, jadi tampil alami saja tanpa harus ke salon”

“Dewin!!”

“Iya Tante! Bentar ya Mbak, Bos besar lagi manggil”

15.01 Wib

Aku masuk ke ruangan Bosku, Tante Melda.

“Kamu gimana sih, bukannya menarik hati orang biar ditata di salon kita, malah ngajarin yang gak jelas”

“Ia tante, maaf tante”

“Gajimu saya potong tigapuluh ribu bulan ini”

“Tapi tante, saya ngaak bermaksud…”

“Tidak ada tapi-tapian, tante sendiri dengar pembicaraan kamu. Atau, kamu sudah tidak senang kerja di salon ini ya?”

“Tidak tante..”

“Ya sudah, keluar saja mulai besok”

“Maksud saya, saya masih senang kerja di kantor ini Tante”

“Satu kesalahan lagi, tante pecat kamu”

“Iya Tante, Maaf Tante”

15.10 Wib

Aku keluar dari ruangan itu, ruangan yang sangat menyebalkan bagi kami kalau sudah keluar kata-kata potong gaji karena kesalahan yang sepele sekalipun. Yah, itulah Tante Melda, janda yang sangat judes, mungkin karena itu juga ia diceraikan oleh suaminya. Ntah peraturan dari mana didasarinya potong gaji tersebut. UU Tenaga kerja pun setahuku tidak mengaturnya. Sahutku dalam hati dengan kesal.

“Masih belum selesai ya Mbak pacarnya” sahutku memulai pembicaraan dengan gadis tadi.

“Ah…inilah yang paling kubenci kalau datang ke salon. Kita menunggu berjam-jam hanya untuk mempercantik diri. Sangat membuang waktu yang ada”

“Bentar lagi juga selesai Mbak”

“Datang ke salon memang selalu jadi bahan perdebatan kami, tapi aku tidak mau menghabiskan energi hanya untuk berdebat dengan calon suamiku yang hobby berdandan”

“Mau minum apa Mbak”

“Saya bawa minum kok Mas. Saya merasa hanya orang yang kurang percaya diri yang masuk ke salon yang merasa dirinya belum secantik orang lain”

Aku terdiam tanpa menjawab pertanyaan wanita tersebut, aku tidak ingin mengulangi kesalahan konyol yang bisa membuatku diberhentikan dari salon ini.

“Aku jarang ke salon bukan karena aku menganggap paling cantik dibandingkan dengan wanita-wanita yang sering datang ke salon ini, tapi kecantikan yang alami jauh lebih indah dari hanya sekedar riasan belaka”

“ Iya Mbak, saya setuju. Lagian saya melihat Mbak sudah cantik kok”

15.11 Wib

“Hey Mas, calon bini orang nggak usah digoda-goda lagi” sahut pria yang tiba-tiba datang dari sampingku

“Maaf Mas”

“Iya cuma bicara apa adanya kok Mas Ryan, gitu saja kok kamu cemburu”

“Siapa yang cemburu… saya dengar pembicaraan kalian dari tadi, tentang kurang percaya dirilah, tentang menghamburkan duitlah atau buang waktu dan lain-lain” sahut pria tersebut dengan nada keras.

Tante Melda menghampiri kami dengan lembut “Maaf Mas, ada yang bisa saya Bantu”

“Ini karyawan Tante kurang ajar dengan pacar saya, dari tadi ia menggoda calon bini orang”

“Saya minta maaf Mas atas perlakuan karyawan kami, saya akan didik lagi dia untuk kenyamanan para pelanggan”

15.20 Wib

“Dewin, masuk ruangan!!”

“Iya Tante”

“Mulai besok kamu tidak usah lagi kerja di kantor ini”

“Maaf Tante, saya hanya memuji gadis itu tante, saat menemaninya berbincang-bincang”

“Pokoknya Tante sudah tidak tahan dengan sikap kamu hari ini. Tante heran nggak biasanya kamu kerja begini”

“Aku hanya mengikuti anjuran Tante, agar pelanggan diajak berbicara sesuatu yang tidak membosankan dan sesekali harus kita sanjung”

“Iya, tapi bukan menggoda calon bini orang, sanjungan itu ada batasnya. Pokoknya kamu saya pecat!!”

“Tapi Tante”

“Tidak ada tapi-tapian. Tante tidak ingin gara-gara kamu salon ini jadi sepi dengan sikap dan ulahmu. Baru setengah jam yang lalu Tante tegur, udah buat ulah lagi”

“Tante, tolonglah kasih saya satu kesempatan lagi. Satu kesempatan lagi Tante”

Terdengar dari luar langganan Salon EDWINA masuk, aku melihat ada Mbak Cindy yang sedang mencari saya.

“Ya sudah, sekali kesalahan lagi tidak ada ampun bagimu. Layani Mbak Cindy dengan baik”

“Iya Tante, makasih”

16.09 Wib

“Wah..ceria banget Mbak, baru tadi siang datang, sudah datang lagi. Pasti ada kabar gembira nih” sahutku dengan gaya bahasa bencong. Ah..entah kenapa aku jadi bergaya kewanita-wanitaan berbicara, padahal hanya aku satu-satunya karyawan pria yang tidak pernah bergaya bencong.

“Kok jadi kemayu sih Mas”

“Ah…Canda Mbak, abis tadi siang Mbak kelihatan berbeban berat, jadi saya berlagak bencong untuk menghibur Mbak. Maklum, lagi ceria nih Mbak, Banyak dapat Tips dari pelanggan” sahutku untuk menutupi kejadian yang baru saja kualami.

“Cat dong rambutku , warna Ungu ya, Warna kesukaanmu kan.”

“Ok deh Mbak Cindy”

“Pokoknya sekarang mau ceria dengan mode rambut yang berbeda. Layani dengan baik, Tips pasti semakin besar”

Ah..inilah hidup yang tidak terselami, sahutku dalam hati. Baru tadi siang ia menangis, sekarang sudah ceria. Baru minggu kemarin aku jadi karyawan teladan, hari ini sudah terancam mau dipecat. Kami berbincang-bincang dengan hangatnya, bercerita dengan Mbak Cindy sambil mengecat rambutnya. Ternyata ia baru saja putus dengan Mas Rendra. Iya senang karena dari dulu Mas Rendra hanya pria yang dijodohkan oleh orangtuanya.

16.13 Wib

“Maaf, tadi pagi saja potong rambut disini. Saya mau bertemu dengan peñata rambut saya ini”

“Iya Pak, saya pimpinan salon ini. Ada yang bisa saya Bantu.”

“Saya mau bertemu dengan orangnya langsung”

“Apa karyawan kami salah potong atau hanya sekedar ingin bertemu”

“Oh tidak, potongannya saya sangat suka, tapi saya ingin bertemu”

“Siapa namanya Pak”

“Saya tidak tahu, tapi saya ingin bertemu dan penting sekali. Saya pasti kenal orangnya kalau lihat wajahnya. Iya agak pendek, pakai baju warna Ungu.”

“Oh..iya Pak, mungkin maksud anda Dewin” sahut Tante Melda sambil menunjuk kearah Dewin kepada pemuda bertampang India tersebut.

“Dewin, ada langgananmu. Ia ingin bertemu denganmu. Kayaknya ia sangat senang dengan model potongan rambutmu.” Sahut Tante Melda berbisik bangga atas pekerjaanku.

Iya, Aku ingat pria ini, ia yang memberiku Tips besar tadi pagi. Ah…hidup memang selalu menyenangkan. Baru beberapa menit yang lalu hampir di pecat, sekarang sudah dapat pujian dari pelanggan dan Bos salon ini.

“Dewin kan maksud anda Pak”

“Iya betul sekali, ini dia” sahutnya dengan bahasa Indonesia yang pas-pasan.

“Maaf Mas Dewin, tadi pagi saya kayaknya salah memberikan Tips pada mas Dewin. Maksud saya mau kasih sepuluh ribu, tapi kayaknya duit seratus ribu yang saya kasih”

“Oh…Ia Pak, maaf Pak” Sahutku dengan bingung. Sudah menjadi peraturan tetap di salon ini kalau kami tidak boleh dapat tips dari pelanggan sekalipun mereka memaksa. Kami memang selalu menerimanya dengan sembunyi-sembunyi.

Segera kuberikan selembar duiat seratus ribu tersebut tanpa meminta duit sepuluh ribu yang disodorkannya.

“Dewin, habis menata rambut Mbak Cindy, segera keruangan saya”

“Iya Tante”

Aku lanjutkan pekerjaanku sambil berbincang-bincang dengan Mbak Cindy. Aku sudah tahu apa nasibku kedepan di salon ini setelah mengecat rambut Mbak Cindy. Aku sudah tahu inilah hari terakhir aku bekerja disalon ini. Ah… sudah hampir dua setengah tahun aku bekerja di salon ini, harus kuakhiri hanya dengan perkara-perkara sepele. Aku merenung sambil mengecat rambut Mbak Cindy. Tak sengaja air mataku mengalir.

Ada apa Dewin” sahut Mbak Cindy.

Aku hanya diam sambil menghapus airmataku.

16.30 Wib

Aku masuk ruangan Tante Melda dengan wajah haru.

“Kamu saya pecat dan tidak usah lagi berkomentar.”

Tante Melda memberikan amplop pesangon dan gaji bulan ini.

16.45 Wib

“Dewin!!” sahut Mbak Cindy yang rupanya menungguku sambil mengajakku masuk ke mobil sedannya yang sangat bagus. Sore itu kami menembus senja melewati kota yang sibuk dengan aktivitasnya, sambil tertawa sukacita menikmati hidup ini.

Ah…hidup ini memang indah untuk dinikmati …!!!

Bandung, 29 April 2008

Hidup ini memang indah untuk dinikmati….!!!

Dewinson