Raja Semut Hitam

Bahagia Tanpamu

Bahagia Tanpamu
Sukacita Panen Rumput Laut

Kamis, 14 Oktober 2010

Kekasih-kekasih hatiku . . .


Kepada kekasih-kekasih hatiku, yang senantiasa kuingat dalam ritual doa pagiku. Kutahu tanpa kehadiran kalian sebagai pusaka yang telah Tuhan percayakan untuk kukasihi, aku tidak akan bisa tertawa lepas, bahkan untuk sekedar tersenyumpun akan membutuhkan perjuangan yang hebat bagiku .

Saat kekasihku pergi, dia berkata dalam lirihnya “Aku hanya menolongmu untuk kembali kepada PanggilanNya, setelah pengembaraan kita yang begitu panjang tanpa arahan yang jelas, aku harus mengambil keputusan yang kutahu itu tidak akan pernah adil bagimu, tapi baik bagimu”

Bagiku tidak ada yang salah dengan segala keputusanmu yang tidak pernah kuanggap sebagai suatu kesudahan dalam hidupku, sekalipun aku harus mengakuinya dengan segala kesadaranku, bahwa aku pernah terguncang dan merana untuk itu. Namun, kehadiran kekasih-kekasih hatiku, pujaan hatiku yang selalu menjadi dambaan dan tempat peraduanku, yang membuatku tetap kuat untuk terus melanjutkan panggilan hidup ini.

Sekalipun, yah, sekalipun Kekasih-kekasih hatikulah yang lebih banyak ku hibur, padahal dirikulah saat ini yang seharusnya kalian hibur.

Kekasih-kekasih hatikulah yang lebih banyak ku nasihati, padahal dirikulah saat ini yang seharusnya kalian nasihati.

Kekasih-kekasih hatikulah yang lebih banyak ku dengar keluhannya, padahal dirikulah saat ini yang seharusnya kalian dengar keluhannya.

Kekasih-kekasih hatikulah yang lebih banyak ku kunjungi, padahal dirikulah saat ini yang seharusnya kalian kunjungi.

Kekasih-kekasih hatikulah yang lebih banyak ku doakan, padahal dirikulah saat ini yang seharusnya kalian doakan.

Sekalipun dan sekali lagi, hanya Kekasih-kekasih hatikulah yang lebih banyak ku perhatikan, padahal dirikulah saat ini yang seharusnya kalian perhatikan.

Tapi, aku sangat bersuka bisa melihat kalian bertumbuh menjadi pekerja yang tangguh, sehingga menghiasi hari-hariku dengan penuh sukacita untuk menggantikan kain kabungku menjadi tawa dan tari-tarian, karena untuk itulah aku di panggilNya . . .

Kota Tuaian, 14 Oktober 2010
Untuk kekasih-kekasih hatiku, kebanggaan bagiku dapat merawat dan melayani kalian, sehingga kalian bertumbuh menjadi pekerja-pekerja yang tangguh. Berdirilah teguh dan jangan goyah, sebab jerih payah kita tidak akan pernah sia-sia karena Bapa yang menjamin hak kita.

Senin, 11 Oktober 2010

Aku ingin melihat engkau kembali . . .

Aku mengucap syukur kepada Allah, yang kulayani dengan hati nurani yang murni seperti yang dilakukan nenek moyangku. Dan selalu aku mengingat engkau dalam permohonanku, baik siang maupun malam.

Dan apabila aku terkenang akan air matamu yang kaucurahkan, aku ingin melihat engkau kembali supaya penuhlah kesukaanku.


‘ . . . karena aku tahu kepada siapa aku percaya dan aku yakin bahwa Dia berkuasa memeliharakan apa yang telah dipercayakan-Nya kepadaku hingga pada hari Tuhan ‘





Bandung, 11 Oktober 2010
Saat-saat merenungkan tulisan-tulisan Paulus dalam sabdaNya
. . . aku ingin melihat engkau kembali supaya penuhlah kesukaanku. Selamat bersukacita di hari jadimu . . .

Senin, 20 September 2010

Kekasih gelapku, janganlah menghampiriku lagi . . .

Duhai kesunyian yang selalu datang di setiap penghujung malamku. Apakah engkau tidak bosan untuk selalu menghampiriku ? Ini sebenarnya rahasia yang tak ingin ku ungkapkan, tapi kau seperti kekasih gelapku, yang selalu ku sembunyikan dari khalayak ramai. Seakan-akan menjadi dosa yang besar jika orang lain mengetahui kehadiranmu dalam diriku. Seakan-akan hubungan ini hanya kita nikmati bersama dan tak perlu orang lain mengetahuinya.

Apakah engkau tidak tahu, hari-hariku tidaklah seperti ini sebelumnya dan kau bukanlah bagian dari hidupku. Hidupku adalah keceriaan yang selalu dipenuhi oleh sukacita dan bahkan dalam kesendirian pun, hanya keindahan yang kunikmati, tanpa pernah merasakan kesunyian dalam diriku. Kau tahu pasti, akulah pembawa kabar baik dan yang selalu menghiasi kegirangan orang lain dengan tingkah dan sikapku yang akan mengisi setiap kekosongan dan memecah kesunyian orang lain.

Tapi, kau seperti musuh abadi yang selalu sulit untuk kutaklukkan. Sebenarnya bukan hanya di malam hari yang gelap saja kau menghampiri hidupku, kau sudah mulai merasuki hidupku disaat pagi hari yang cerah. Seakan-akan senyum mentari pun sudah tak mampu membuat ceria hidupku. Teriakan anak-anak tetangga pun hanya menghiasi keriuhan pagi, tapi tetap kau mendekapku. Aku tidak perlu ceritakan kehidupanku disiang hari, karena keramaian hanya sebagai pelengkap yang tidak pernah menggugahku untuk bergulat diantara senyum ceria para sahabat. Kau seakan-akan lebih mahir untuk menaklukkan keramaian dan tawa kami menjadi sunyi yang berkepanjangan.

Aku sebenarnya tahu betul kapan kau hadir dalam hidupku. Kapan kau akhirnya selalu menyapa malam panjangku. Dan, aku seakan-akan terhipnotis dalam jeratanmu, sehingga aku berada di dalam belenggu yang tidak dapat kulepaskan. Yah…aku ingat, bahkan kapan dan tanggal berapa kau mulai menghampiriku. Kau seakan-akan pribadi yang dititipkan oleh pribadi sang kekasih yang meninggalkanku dengan gemilangnya dan menempatkanmu sebagai pasangan yang menggantikan kehadirannya. Sejak kepergiannyalah, iya…sejak kepergiannya, kau hadir dengan berbagai cara untuk menggodaku, agar ada dalam dekapanmu. Dan, bodohnya aku…yah. Kukatakan aku bodoh untuk perkara ini, karena akhirnya aku mau menerima kau sebagai pengganti dari kekasih yang sangat ku sayangi, sekalipun aku tidak pernah menyayangimu, bahkan aku tidak pernah mendambakanmu dalam hidupku dan berharap agar hubungan kita segera di akhiri.



Aku pernah berkata pada diriku sendiri di suatu malam yang sangat menyakitiku, karena kau memelukku terlalu erat, sehingga aku tidak dapat melepaskan hidupku dari kesunyian ini. Aku katakan di malam itu, aku mau menikmati malam ini tanpa kehadiranmu dan mengubah hidupku menjadi suatu kegirangan yang tak akan pernah lagi dihampiri oleh kesunyianmu. Namun, kau mulai menawarkan pribadi kekasihku yang telah berlalu, kau mulai menawarkan keindahan masa lalu yang membuaiku untuk selalu mengenangnya dan aku terlalu bodoh untuk menikmatinya dengan segala keliaran didalam pikiranku untuk sekedar merasakan sedikit kebersamaan yang tidak pernah dihampiri oleh kenyataan, selain hanya khayalku lah yang bekerja. Dan, aku terluka karena itu hanya khayalan yang tidak pernah menjadi nyata.

Kau tersenyum dengan senangnya, karena berhasil membuatku kembali mengalami kesunyian di malam ini. Dan, berkali-kali aku mengusir kesunyian dalam hidupku, tapi kau selalu menang dalam pertandingan ini. Kau terlebih lihai, seakan-akan prajurit yang terlatih untuk menghampiri hidupku setiap saat. Berbagai cara telah kuperagakan dalam hidupku untuk memecah kesunyian hati ini, untuk membuktikan bahwa dirimu, akan takluk dengan kegirangan yang menghiasi hari-hariku, tapi seakan termentahkan oleh kelihaianmu, agar kau lah yang akhirnya tetap berkuasa untuk memenuhi hari-hariku.

Aku melepaskan segala kebodohanku, akan segala sesuatu yang membelenggu dan mampu menaklukkanku selama ini, untuk membangkitkan kembali kegirangan hati dalam hidup. Bangkit . . .! Meski dimulai dari rangkakan yang tidak mudah untuk tegak, hingga berdiri seperti saat ini. Dan, aku mendefinisikan sendiri kejadianku “Bahwa ketika kekasih hati meninggalkanku, dia hanya mengutus kesunyian, namun ketika PribadiMu meninggalkan dunia, Kau mengutus Penghibur. Dan, aku bergirang, ketika Penolong dan Penghibur itu tak pernah henti-hentinya menolong dan menghiburku untuk menikmati kehidupan dalam hari-hari yang penuh dengan sukacita. ♫


September Tetap Ceria
Menikmati malam panjang dengan kesunyian @ Kamarku . . .

Rabu, 28 Juli 2010

Akhir Cerita ini . . .


Akhir cinta ini . . .

Seketika . . .
Aku diperhadapkan pada keegoisan hati sang kekasih
Pujaan dan kebanggaanku yang selalu menebarkan kasih cintanya
Kini menjadi pribadi yang asing bagiku

Tiba-tiba . . .
Dia berubah dan mengoyak perbedaan
Beranjak pada kekerasan hatinya dan melupakan segala kisah kasih
Lepaskan segala keindahan dan melupakan ucapan setianya
Dan, dia memadu kasih sebelum mengakhirinya denganku

Pergilah . . .
Sikap dan keputusanmu membuatku putus asa
Teruskanlah dengan mimpi-mimpimu sayang
Anggaplah aku dan cinta kita tidak pernah ada

Berlarilah . . .
Kejarlah segala keinginanmu dengan leluasa
Beranjaklah sesukamu seperti ucapanmu “aku orang yang bebas”
Karena cintaku sedang dimabuk asmara dan lupa dengan pertautan kasihnya

Terbanglah . . .
Kepakkanlah sayap-sayapmu dengan bebasnya seperti yang kau dambakan
Aku tegarkan diriku melihat sikapmu yang tak dewasa
Kusiapkan hatiku melihat kebebalan hatimu, sikapmu dan egomu
Kudustai hatiku bahwa aku tidak mencintaimu lagi

Sebenarnya . . .
Saat ini aku terus berjuang agar hati ini pulih
Hingga akhirnya kau menemuiku dengan tawa dan senyum lepas
Mesti lelah hati dan jiwaku

Ketahuilah . . .
Aku tetap menjaga cintaku
Temuilah diriku kelak yang akan tetap mempercayai cintamu
Sandarkanlah tubuhmu pada peluk tanganku yang terbuka lebar untukmu

Percayalah . . .
Aku dengan setia akan menunggu pribadimu
Hatiku selalu berkata dengan alasan cinta tulus ini
Agar kau mengetahui bahwa aku sangat menyayangimu
Kujanjikan bahwa aku akan selalu ada untuk cintamu

Akhirnya . . .
Kau temuilah aku dengan kebebalan cintaku
Memang inilah yang selalu kupercayai
Aku dan kau akan disatukan dalam pelukan kasih-Nya
Cinta ini pasti akan berakhir dengan indah dalam hidup kita


Bandung, 6 April 2009
Temui diriku kelak
Yang akan tetap mempercayai cintamu disini !

Rabu, 23 Juni 2010

Sembuhlah…!! Untuk Gadis Kecil Dalam Pelukanku ini…

Kau berteriak sambil meronta-ronta dalam pegangan beberapa orang. Akhirnya kau terdiam. Aku melihat wajahmu dengan aura marah…Entah apa yang sedang terjadi denganmu, entah apa juga yang sedang kau pikirkan, meski aku coba mengerti, kau sedang tidak suka dengan keadaan ini. Aku coba menghampiri kehadiran kalian dengan senyum, seolah tidak terjadi apa-apa dengan kalian, keluargaku. Tidak ada tawa, tidak ada raut sukacita dan keramaian, yang ku lihat dari wajah-wajah orang-orang yg ku kasihi ini.

Aku tersenyum sambil menanyakan perjalanan kalian untuk sampai ke kota ini, Kota Bandung. Kalian hanya menjawab sekenanya saja. “Ah…mungkin mereka sudah terlalu lelah dalam perjalanan”, sahutku dalam hati. Aku menatap lagi wajahmu, yang hanya diam dengan tatapan kosong, tanpa menyapa ku, yang biasanya kau lakukan dengan gembiranya dan dengan berbagai pertanyaan yg kadang aku pun malas untuk menjawabnya. Kau duduk tepat di tengah mobil keluarga tersebut, dengan di dampingi dua pria yg duduk di sampingmu.

Aku coba menghampiri ponakanku, pujaan hatimu, gadis kecilku yang masih berusia sekitar 5 tahun dengan segala keluguannya. Sengaja ku ulurkan tanganku, agar dia datang ke pelukanku. Ah…kau masih menawan hati, sayang, sekalipun kau belum mandi, sekalipun kau masih di balut aroma perjalanan jauh untuk sampai ke kota ini. Ah, aku bisa membayangkan, kalaulah perjalanan keluarga kita ini untuk liburan, pastilah kita sedang berjalan kearah kebun binatang. Aku pasti akan menggendongmu, sambil menunjukkan berbagai binatang yang ada di kebun binatang tersebut, sambil mengenalkan nama-nama binatang tersebut. Ah, tentu sangat indah, sangat menarik dan kita sekeluarga akan menikmati perjalanan ini. Kita pasti sedang tertawa, melihat pola tingkah aneh binatang-binantang yang ada di kebun ini. Kita akan berpose dengan berbagai gaya yang menurut kita paling layak untuk di andalkan, saat ada aba-aba jepretan camera. Kita pasti akan makan bersama, sambil berebut saat akan membayar makanan yg telah kita santap. Ah…, itu hanya andai kok sayang, putri kecilku.

Aku tahu, perjalanan kalian dari kuningan sangat melelahkan, sekalipun kalian hanya menempuhnya sekitar 6 jam, tapi kalian sudah berangkat sejak tengah malam, agar sampai pagi-pagi betul di kota ini. Aku kembali menatapmu, yg masih dengan wajah dan tatapan kosongmu, yang masih dengan wajah dan aura marah dalam gerammu, yg belum juga kami temukan apa penawar amarahmu, krn kau tidak suka dan tidak nyaman dengan keadaan ini. Aku berusaha menghampirimu, meski kutahu keluarga lainnya tidak ingin menghampirimu. Aku diam dan berusaha untuk merasakan apa yg kau rasakan, sampai kau bertanya dengan pertanyaan yg ringan dan di akhiri dengan teriakan. Ah…mungkin karena itulah kau kesal, mungkin juga itulah pikiran yg berkecambuk dalam hatimu, dalam otakmu dan dalam hidupmu.

Kami bergegas berangkat, agar teriakanmu tidak mengganggu orang lain. Aku berusaha menenangkan gadis kecilku, pujaan hatimu, dengan berbagai pertanyaan, yang ku tahu dia pun belum begitu mengerti keadaan ini. Sambil ku tunjuk beberapa gambar saat mobil kita melewati pertokoan di Cihampelas, mengenalkan tokoh-tokoh jagoan yg terpajang di depan toko-toko yg selalu di datangi ribuan org dari berbagai kota.

Akhirnya kita sampai, Kini giliranmu yang harus ku tuntun, tiba-tiba kau menangis, entah apa yg membuatmu menangis dengan sedihnya, saat kita sudah sampai di ruangan ini. Kami sekeluarga coba menenangkanmu, ku lihat wajah pilu raut muka-muka keluarga saat melihat kau terus saja menangis sambil memegang kepalamu. Aku tahu kau butuh pertolongan, dan hanya doa yg bisa ku panjatkan saat ini sambil menyadarkanmu dalam sedihmu. Kau pasti tahu tempat ini dimana, sekalipun kadang aku ragu, apakah kau tahu tempat ini.

Kau lebih tenang setelah menangis. Lelapkanlah tidurmu. Aku berharap, saat kau membuka matamu, kau sudah tersadar dari kebodohanmu. Tiba-tiba kau mengerang dengan sekerasnya, aku hanya bisa berdiam, sambil melipat tangan dalam haruku, karena aku tidak dapat berbuat apa-apa. Aku lihat kekasihmu, yang hanya terduduk, yang hanya terdiam tanpa mengeluarkan sepatah katapun. Tatapan kami sekeluarga hanya tertuju padamu dengan sejuta pikiran yg membuat kami kalut dan tak tahu harus berbuat apa-apa.

“Aku lapar” : Sahutmu pada kami beberapa saat kemudian. Bagi kami, membawamu ke tempat bahkan yg termahal di kota ini pun, bukanlah masalah. Beberapa dari kami mengantarmu ke kantin di samping tempat peraduanmu nanti. Setelah di sediakan makanan, kau hanya mau duduk di lantai, sekalipun ada tempat duduk tersedia di kantin ini. Orang-orang yg ada di tempat itu melihat heran dan beberapa diantaranya ketakutan. Semoga kau tidak membentak mereka, seperti saat kau melakukannya ke suster, saat kau tiba-tiba marah di ruangan kelas gadis kecilmu dan banyak kejadian lainnya yang sangat memilukan dan menjadi pertanyaan, kenapa kau bertindak bodoh ? Ada apa denganmu ?. Ada rasa iba dan sebenarnya beberapa diantara kami malu, tp aku tahu, kau pun tidak ingin berkelakuan seperti ini. Kami hanya menuruti kemauanmu saat ini.

Aku sejenak mengingat tentang dirimu, kala beberapa tahun lalu berkunjung ke kota ini. Kau sangat ceria, kau hanya menanyakan berbagai tempat yang ada di kota ini, seakan-akan kita bisa menjelajahinya dalam satu hari karena kau ingin menikmati semua tempat-tempat di kota ini, walau aku tahu, tujuanmu hanyalah ingin melihat beberapa jaket kulit dan akhirnya akan ke tempat kaset lagu-lagu daerah. Kau selalu tersenyum sambil menawarkan aku beberapa kaset untuk di beli. Kau membeli sangat banyak saat itu, ada lebih dari 25 kaset, seakan-akan kau ingin menjualnya di kotamu.

Aku juga masih ingat, saat kau membelikan gitar pertamaku waktu awal ku beranjak SMU, Tape Recorderku saat awal kuliah, ke 2 buah Sound untuk computer di kamar dan masih banyak lagi. Ah…itu dulu. Kini, hanya berkomunikasi dengamu pun, aku agak berpikir panjang.

Hampir 4 jam, kami mengurus semua. Dengan menghadapi berbagai pertanyaan-pertanyaan yang menurutku tidak terlalu penting, tapi pasti lah ada manfaatnya. Harus melewati banyaknya ruangan dengan prosedur yg seperti di buat rumit. Kadang kami harus ke ruangan ini, harus ke ruangan itu baru keruangan yg satu lagi, hanya dengan membawa berkas yg kami juga kurang tahu, kenapa tidak di buat berdekatan saja.

Ah, sudahlah, kami hanya mau agar cepat usai. Kami sampai lagi pada ruangan dimana kau berada. Sahutku dalam hati : “Kau akan bersama-sama dengan orang-orang yang ku lihat ada di kamar-kamar sempit dengan teralis besi seperti penjara, lengkap dengan seragamnya, sekalipun mereka bukanlah narapidana seperti yang sering ku lihat di Penjara-penjara.” Tatapanmu seakan berbicara, bahwa kau tidak ingin kami tinggalkan, bahwa kau tidak ingin berada di tempat ini. Dan, kami meninggalkan dirimu yang sedang tak berdaya dalam tangismu, dalam erangan dan teriakanmu, sampai akhirnya suara itu hilang dari kejauhan.

Kami hanya ingin, kau lekas sembuh dari sakitmu, agar bisa bersama-sama lagi dengan keluarga, agar kau bisa menggendong buah hatimu, gadis kecil yang sedang berada dalam pelukanku. Agar tidak terlebih dahulu waktu mendewasakannya, sehingga dia mengerti guncangan jiwamu dan akan berkata dalam hatinya “Papaku orang gila “


Bandung, Akhir bulan Mei 2010 @ Riau 11 – RSJ Cimahi.

For My Uncle “ Cepat sembuh yah uda, kau harus melihat putrimu yang semakin dewasa, dia sudah mulai mengerti nguncangan jiwamu yg kami pun tak tau kenapa kau bisa terguncang…”

“Saat menemui senyum anggota keluargaku yg semakin langka, aku hanya bisa berdoa agar semua cepat berakhir dengan sukacita. Minggu ini, aku akan melihat keadaannya, mungkin akan di pindahkan lagi ke RSJ Cimahi, untuk mendapat perawatan yg lebih baik.”

Bandung, 23 Juni 2010 @ RS. Salamun, lalu akan mengurus kepindahan ke RSJ Cimahi lagi.

Rabu, 16 Juni 2010

Kerinduanku untuk selalu berada di kota ini "Kendari"

KENDARI

Iya, Kendari. Terdiri dari huruf-huruf K-E-N-D-A-R-I. Memang Cuma 7 huruf, tapi, . . . Kendari sangat berarti bagiku. Entah apa yang harus ku katakana, tapi aku sudah ada di kota ini sejak tanggal 16 Juni 2007 sampai sekarang. Tanpa ada yg ku kenal, tanpa ada pengetahuan, tanpa ada alamat yg akan di tuju, tanpa . . . pokoknya tanpa dan tanpa bahkan tanpa satu anak pelajar pun yang mengetahui kehadiran kami kecuali nomor Hp 085241 xxx yang juga tanpa ku ketahui bagaimana orangnya, siapa dia, seperti apa sifatnya, pokoknya kami hanya percaya orang tersebut baik dan akan membantu kami dan pst akan menjemput di bandara Walter mongonsidi, walaupun kami akan tiba pagi di pukul 01.30 Wita.

Sekarang, entah sudah berapa puluh, bahkan ratusan, ya ratusan para pelajar menjadi tautan hati yang menjadikan kota ini sangat berarti.

24 Juli 2007 @ 17.30 Wita
Begitu berat perasaan, saat orang-orang yang baru ku kenal ini, memancarkan senyum dgn makna agar tak hrs berpisah, agar ttp di kota ini dan tak perlu berjabatan tangan dan mengucapkan kata-kata berpisah.


Ah… Sudahlah…
Kalian memang buah hati yang tak akan terlupakan. Entah siapa saya bagi kota ini, sehingga kalian harus bergantian bersalaman, bahkan ada beberapa diantara kalian yang berkali-kali menyalami dan berjabatan tangan dengan berbagai ucapan dengan pesan agar kembali ke kota ini…

“Selamat jalan yah kakak, pokoknya harus kembali lagi ke Kendari” atau nada canda, dengan tujuan agar lebih lama lagi kami ada di kota ini. Mungkin mereka kurang percaya, kami atau saya akan kembali ke kota ini lagi, sekali pun aku juga tidak bisa memastikan entah kapan lg akan hadir di kota ini…” Ya sudah, tunda saja kakak, 1 minggu lagi ke Bandungnya “

Harapan, berharap dan meminta. Mungkin lebih lama beberapa saat, jawaban yang tepat agar lebih lama bersama, tapi memang aku pun tidak tahu pasti entah kapan lagi akan datang ke kota ini. Mungkin bulan depan, mungkin tahun depan, 5 tahun lagi, 10 tahun lagi ato berapa tahun lagi, aku tidak tahu, tapi aku ingin kembali ke kota ini “KENDARI”

Menjadi sangat berarti setelah aku bertemu dan menjumpai ratusan pelajar yang memang mereka sangat berharap agar kami lebih lama di kota ini. Tapi, aku dan rekan-rekan memang harus meninggalkan kota ini. Tanpa satu pun yang ku kenal di awal aku hadir di kota ini, tapi hanya 1,5 bulan, kalian mempesonaku dengan segala kerinduan kalian untuk lebih mengenal siapa Sang Khalik, yang memang Dialah yang mengijinkan kami untuk berada di kota ini. Bagaikan seorang yang sangat berarti bagi mereka, saat aku pun harus melihat beberapa diantara kalian meneteskan airmata, begitu berarti kah hidup kami di dalam hidup kalian ?

Ah…Kini, waktu berada di kota ini sudah tidak panjang. Salam buat kalian, adik-adikku yang mengasihi Kristus…


24 Juli 2007 09.15 Wita…
“Saat-saat mengingat kasih karunia Bapa, aku bisa berada di kota ini, Kendari”

"Saat mengenang Tepat 3 Tahun lalu, awal menginjakkan kaki di kota ini (16 Juni 2007 - 16 juni 2010). Kerinduanku, untuk selalu kembali ke kota Kendari, sambil bertemu dengan kekasih-kekasih hatiku, yang telah Bapa percayakan untuk kulahirkan dari rahim rohaniku. Kalian harus terus bersukacita di ladangNya, untuk terus menuai tuaian yang telah menguning itu. Maaf, kakak belum bisa menepati janji untuk kembali ke kota ini...!"

Senin, 07 Juni 2010

Kisah Cinta Yang Salah


Sayang . . . , aku mau bercerita tentang dirimu.


Ijinkan aku sobat bercerita kembali, pasti kau akan bosan tapi, dengarkanlah ceritaku ini mengenai seseorang yang sangat kucintai.

Kuceritakan padamu seorang wanita, bukan agar kau mencintainya, tapi agar kau tahu bahwa kekasihkulah yang sedang kuceritakan. Agar kau mengerti mengapa aku sangat mencintainya dan akhirnya menyadari mengapa aku sangat sulit untuk melupakannya.
Wanita ini sangat cantik dan menarik. Juga penuh dengan misteri. Iya…penuh misteri yang akan kuceritakan pada penghujung cerita ini mengapa aku menyebutnya misteri. Semua orang ingin memilikinya dan menjadikannya pasangan hidup, karena ia akan mengisi dan menghiasi hidup setiap lelaki yang ada di sekitarnya.

Lalu aku menemui wanita ini dan mengatakan padanya bahwa, hidup itu adalah anugerah yang telah Tuhan ciptakan untuk kita jalani dengan berbagai aspek kehidupan yang indah. Dan, ternyata aku jatuh cinta sobat. Aku baru menyadari bahwa dia adalah wanita yang sangat tepat untuk dijadikan pasangan hidup setelah perkenalan kami selama 3 tahun.

Aku tidak mendekatinya atau berusaha merayunya saat itu, karena aku tahu dia adalah wanita yang sangat sulit untuk didekati apalagi kalau untuk merajut hubungan asmara dengannya. Bagiku dia tidak lebih dari seorang sahabat dan gadis manis yang lebih tepat dijadikan saudara.

Lalu, pujaanku pada suatu malam setelah pertemuan kami yang semakin hari tercermin kasih berkata padaku :

‘Panggillah aku sebagai adikmu, jangan dengan sebutan nama yang sering orang sematkan padaku, saat menyapaku.’

Kutemukan ada cinta yang sudah tidak dapat terdefinisikan diantara kami selain bahasa tubuh kami yang berbicara, bahwa kami saling mencintai dan ingin merajutnya dalam hubungan kasih. Aku tentu tidak langsung menjalaninya dengan pertalian kasih, karena kami perlu mengerti dan saling memahami. Dan, kutemukan bahwa pribadinya sangat menarik, membuatku tidak pernah melirik dan mendekati wanita lain apalagi sampai menaruh hati dan harus memberikan cintaku ini pada wanita lain.

Ah…itulah dia. Lebih indah dari yang pernah kuimpikan dalam mendapatkan pasangan hidup. Seiring waktu perkenalan kami, aku tidak dapat membendung rasa rinduku yang semakin hari tidak dapat terkendalikan oleh paduan senyum, nafas segar dan tawa manisnya serta aura indah yang semakin membawaku pada realita dengan hanya satu kalimat. ‘Cinta itu indah’ sesuatu rasa yang belum dapat kudefinisikan dengan rangkaian kata-kata selain menikmatinya dalam hati, jiwa dan perasaanku yang akan membawaku ke fatamorgana yang berkepanjangan.

Ada kata indah yang selalu terucap sekalipun kami ada dalam pertikaian, ada sikap menghargai sekalipun ada kesalahan dan ada tangis yang tak teruraikan sekalipun hanya aku, yang sedang memeluknya, dapat membaca dan mengartikan setiap tetesan air mata itu. Ada cobaan demi cobaan yang terus mendatangi kami, tapi semuanya kami lewati bersama dalam kebersamaan, karena aku dan dia selalu saling berbagi beban agar kami tak memikul cobaan itu masing-masing.

Aku hanya mau menceritakan dia, kekasihku yang selalu ada dalam pikiranku. Seorang yang sangat takut dengan kata-kata perpisahan, sehingga aku berjanji untuk selalu setia dan tak akan menyakitinya, sehingga aku menanamkan dalam lubuk hatiku hanya ada satu cinta dalam hidupku yaitu kekasihku, pujaan hatiku, wanita yang sedang kuceritakan padamu. Wanita yang mengasihiku ini selalu melukiskan sayangnya padaku dengan sikap yang baik, dengan wajah yang memancarkan sukacita dan dengan berbagai hadiah yang selalu membanjiri setiap ruang di sudut-sudut kamarku dan puluhan baju-baju yang selalu membawaku pada kebanggaan untuk ingin terus memilikinya. Sementara aku bukan lelaki yang dapat mengekpresikan secara sempurna kasihku dan sayangku ini, kepada wanita tercantik yang sedang tenggelam dalam cintaku, selain dengan sikap hati yang selalu ku jaga, bahwa aku akan terus menyayanginya.

Yang mau kuceritakan sobat bahwa, dia selalu ada untuk memberikan aku kesenangan, dia selalu memberikan aku cerita yang menyejukkan. Aku sangat percaya padanya untuk berbagi atas setiap beben berat dan dia akan menjadi pendengar dan penasihat yang baik, saat aku jatuh dan terpuruk dalam tekanan hidup ini. Aku percaya dia yang akan selalu setia untuk menjalani hidup bersama denganku.

Setelah perjalanan panjang kisah kami yang tidak mungkin kuceritakan semua disini sobat dan banyak cerita yang tak mungkin aku dan wanitaku ceritakan pada kalian. Akhirnya jarak harus memisahkan kami. Ujian pertama bagi wanita tercantikku dan tentu bagiku yang akan sulit untuk berjalan tanpa kehadirannya. Ada kisah cerita yang singkat dan sulit untuk kulupakan, saat kami telah mengetahui akan dipisahkan oleh jarak, kami hanya berbincang. Tiba-tiba tetesan airmata kekasihku mengalir dan terus mengalir seakan-akan kami akan berpisah untuk selamanya. Aku hanya memeluknya dan berkata bahwa kita akan tetap bersama. Aku hanya meyakinkan bahwa cinta ini akan selalu ada dalam hidupku. Tapi, air mata itu tidak pernah berhenti dan mengalir pada wajah manisnya dengan ucapan yang membawa kami kedalam keheningan.

‘Aku merasa bahwa kita akan berpisah dan aku takut kalau hal itu terjadi.’

Sudahlah . . . Sahutku dengan lembut, dengan usapan tangan yang hangat dan kasih yang mengalir dari seluruh tubuhku, sampai kami berada dalam cinta yang tak terdefinisikan dan akhirnya hanya kepadaNya kami mengadu, bahwa disini ada cinta dan kasih dua orang yang sedang tenggelam dalam aliran romance.

Kami masih tetap saling mencintai, jarak dan pertemuan yang semakin jarang bisa kami atasi melalui komunikasi dengan ponsel-ponsel yang selalu menyampaikan pesan-pesan cinta. Kami masih meluangkan waktu untuk bertemu di kota ini dengan cinta yang tak terdefinisikan sekalipun sangat singkat. Aku pun selalu menyampaikan rasa rinduku dan pengaduanku pada kehendakNya, selalu meminta penjagaanNya dan perlindunganNya agar wanita pujaanku selalu ada dalam pelukNya.

Betapa banyak pria yang pernah dan selalu mendekatinya, semuanya dia ceritakan padaku. Aku sangat percaya pada wanitaku ini sobat, sehingga tak ada cemburu dalam hatiku, karena aku tahu cintanya hanya untukkku dan tahun-tahun yang kami lalui selalu membawa kegagalan pada pria yang mendekatinya karena aku disini ada untuk dicintai dan mencintainya.

Kekasihku saat ini sedang dekat dengan seseorang yang kukenal, yang ditanyakannya dengan pertanyaan ringan setelah pertemuan mereka. Ah…bagiku itu hanya ujian bagi si pencinta yang wajar datang dan silih berganti. Kamu tahu kenapa sobat? Karena wanitaku selain cantik dan menarik, ia sangat baik dan selalu memancarkan aura kebahagiaan bagi setiap pria yang ada disekitarnya. Wajar kalau kaum adam menyukainya dan beruntung bagiku bisa memilikinya. Seperti biasa sobat, aku tidak cemburu karena sekali lagi kukatakan, bahwa aku percaya cintanya atas hidupku sekalipun saat ini kami sedang tidak harmonis. Mungkin karena sudah terjalinnya komunikasi diantara mereka, aku menemukan jiwanya yang semakin asing bagiku. Aku coba menjauh seiring dengan sikapnya yang semakin menggangguku, berhubungan dengan seseorang yang semakin sering menjadi perbincangan diantara kami. Aku coba uraikan dan menanyakan cintanya.

Apa yang kulihat ternyata tidak benar, sahutku dalam hati. Kecurigaanku ternyata tak berasalan, sekalipun secara jujur, aku akhirnya mengatakan untuk pertama kali dihadapannya bahwa, aku cemburu dengan sikap dan kedekatannya terhadap seseorang yang terus mendekatinya dan ada respon dari wanitaku. Kamu pasti tidak percaya sobat, ia mengatakan bahwa dalam hatinya hanya ada cinta untukku. Walau ungkapannya berkata bahwa cintanya masih untukku, aku merasakan ada aura bahwa ia akan meninggalkanku, sehingga aku semakin menyayanginya sampai akhirnya aku sampai pada misteri yang kuungkapkan diawal ceritaku ini sobat. Jarang komunikasi, bahkan hampir terhenti dalam kehidupan cinta kami. Lalu, kuputuskan untuk menyimpan egoku dan memulai pembicaraan di balik ponsel yang setia menyampaikan kata-kata cintaku, berhubung dengan tatapan dan sikapnya yang sudah berubah dan asing bagiku.
Misteri cinta dan wanita yang menyayangiku mengatakan padaku sesaat setelah permulaan perbincangan singkat itu :

‘Aku mencintainya sayang dan disini tak ada lagi cinta untukmu . . .!’

Ah…aku hanya terdiam sobat. Sesekali aku berucap membalas perbincangan dari kejauhan itu, tapi aku hanya terdiam dibalik ketidakberdayaanku dan ketidakpercayaanku akan apa yang kudengar. Lalu kukatakan kepada kekasihku dari jarak kejauhan, adakah cinta disana untukku. Wanitaku hanya menjawab :

‘Aku menyayangi engkau saat ini hanya sebagai Sahabatku, karena cintaku sedang mekar ke jiwa yang lain!’

Lalu kukatakan lagi dari kejauhan, bahwa aku sangat mencintainya seiring cerita dan kisah yang pernah kami lalui, seiring dengan cinta dan kasih yang ditebarkannya dan balutan sayangnya yang telah membawaku tenggelam kepada cinta yang tak tergantikan, sampai pembicaraan itu terhentikan dengan doa yang kami akhiri dengan kata selamat malam.

Seminggu kemudian kulihat, wanita pujaanku yang telah bersamaku lebih dari setengah dekade, datang untuk menghampiriku dengan doa dan kata-kata maaf . Tapi, aku hanya menatapnya tanpa turut serta dalam ritual doa tersebut, seiring dengan luka-lukaku yang mendera dan membuatku meradang ditemani dengan air mata yang terus mengalir. Satu pesan bahwa, perpisahan sangat menyakitkan dan hal yang paling menyakitkan adalah saat orang yang paling kita kasihi, yang selalu menyematkan kata-kata cinta yang melukai kita dengan kata perpisahan.

‘Taruhlah lenganmu di dadaku, agar kau merasakan sakit yang kurasakan sayang’ sahutku dalam hati’.

Sobat…bagaimana pun sikap dan tindakan kekasihku tersebut, aku tetap mengasihinya, karena disini ada cinta. Aku tidak mau menuliskan kata-kata kecewa dan amarahku sobat, atas cintanya yang telah berpaling. Aku lebih baik mengambil sikap untuk memaafkannya, agar lara hatiku, agar batinku yang tersiksa dan jiwaku yang terguncang, agar luka-lukaku yang tak kunjung kering ini, tidak menyiksa dan mematikanku. Agar kekasihku mengetahui, bahwa disini hanya ada cinta, sekalipun dia telah menyematkan luka yang teramat dalam. Mungkin itulah cinta yang sulit kudefinisikan sobat. Aku melakukannya karena aku tahu ada cinta yang tulus disini. Aku harus hidup untuk cinta dan misteri dalam hidup kami masih akan tetap ada.
Pastikan sobat, suatu saat kau masih ingin mendengar lanjutan ceritaku tentang wanita yang sangat kusayangi ini, karena semua masih misteri dalam waktu-waktu yang akan kita lalui. Doakanlah aku dari jarak kejauhan sobat, agar aku kuat dan mengetahui rahasia-rahasia besar dari kasihNya. Apakah aku salah sobat, untuk menunggunya disini, dengan hati dan kasih yang masih terbuka untuknya, wanitaku, kekasihku dan pujaan hatiku.



Untuk sobat setiaku yang kutahu, disana tidak akan ada akhir cinta bagiku, untuk sobatku yang ada di ladang misi, untuk sobatku yang berperan meringankan bebanku, untuk sobatku yang pernah kucintai, untuk sobatku yang merayakan ulang tahun dalam sakitnya dan untuk sobat-sobatku yang tidak mengetahui kisahku. Aku disini membutuhkan doa-doa kalian.

Dan, untuk kekasihku yang ada di ladang cintanya, aku menunggumu disini, untuk menuai diladang cinta yang pernah kita semai bersama.

Bandung, 30 Oktober 2008, 15.25 wib



Dewinson



Balasan . . . ! ! !

Sayang…, aku mau melupakan dirimu.

Ijinkan aku menceritakan dirimu sayang, pasti kau tidak akan bosan dan marah, justru kau akan senang mendengarkan dan membaca ceritaku tentang dirimu sobat kecilku. Ijinkan juga aku memanggilmu dengan sebutan ‘sayang’ walau ku tahu itu akan membuatmu semakin tenggelam dan terhanyut akan cinta kita dahulu. Sebenarnya aku kurang setuju kau menceritakan diriku kepada sobat-sobatmu, tapi sudahlah…

Kuceritakan tentang dirimu, agar akhirnya kau mengerti akan keputusanku sayang dan akhirnya engkau memahami mengapa aku meninggalkan dirimu.

‘Sayangku yang lugu’

Sebenarnya sejak kita bertemu dahulu, aku tidak pernah suka padamu, apalagi mencintaimu. Kau pasti tahu, karena aku pernah mengungkapkan siapa yang sedang kucintai dan kudoakan saat itu. Tapi, kamu memang lugu, saat aku tidak mencintainya lagi, kau selalu datang dengan membawa keluguanmu, sehingga aku mengerti bahwa kau sangat cocok untuk dikibulin, dibohongin dan dimanfaatkan untuk menjadi kekasih sementara. Ah…mungkin kau tidak menyadarinya karena aku datang padamu dengan bersikap lugu serta lucu juga dan justru itu yang membuatmu jatuh cinta padaku.

Akhirnya benar dugaanku, hanya dengan sering dikunjungi dan diberi perhatian sedikit, kau semakin lengket denganku dan semakin menaruh perhatian padaku. Aku sedikit cinta, tapi sedikit sayang. Kamu tahu, mengapa aku hanya menceritakan kepada teman kantorku bahwa kaulah kekasihku, itu sebenarnya hanya tipuan kecil yang tak mungkin kau ketahui, belum tentu juga benar apakah aku menceritakannya kepada mereka bahwa kau kekasihku. Lagian mereka tidak mengenalmu dan kau tidak akan menanyakan pada mereka. Tidak mungkin juga aku mengenalkan dirimu pada mereka. Makanya aku tidak pernah menceritakan pada orang-orang yang kita kenal bahwa kita sudah memadu kasih. Akhirnya kau juga turut tenggelam untuk menyimpan rapat hubungan kita. Ah…kau memang kekasih yang tak kuanggap dan sangat lugu dan goblok. Aku salut akan keluguanmu sayang.

‘Sayangku yang cengeng’

Kamu harusnya sadar dan mengerti bahwa aku tidak suka dengan pria cengeng, apalagi untuk menjadikannya sebagai kekasih. Kamu harusnya sadar dengan ucapan-ucapanku dulu, bahwa kamu itu pria lemah yang bisanya hanya menangis dihadapanku saat ada masalah yang menerpamu. Ah…tak bisa kubayangkan bagaimana tangis dan uraian airmatamu saat aku mengatakan bahwa aku lebih mencintai jiwa yang lain. Pasti kau setiap hari menangis dan menangis. Dasar pria cengeng. Sayang, kenapa kau ceritakan tangisanku saat kita akan dipisahkan oleh jarak. Aku dulu menangis bukan karena kita akan berpisah sayang, jadi jangan kepedean dulu. Aku menangis karena tidak akan ada lagi orang yang menghiburku dengan tariannya yang garing dan bukan karena takut kehilangan cintamu. Btw, aku masih ingat waktu meneleponmu malam itu, saat setelah mengungkapkan kata-kata berpisah di senja yang sangat indah itu. Kau menangis begitu kerasnya dan sangat memilukan serta menyayat-nyayat hatiku. Kamu pasti mendengar tangisanku dibalik ponselmu. Sebenarnya aku menangis karena mendengar eranganmu, bukan karena takut berpisah denganmu dan saat aku sudah berhenti menangis, kau masih saja menangis. Bisa kubayangkan airmata dan ingusmu pasti sangat banyak dan matamu bengkak-bengkak. Lalu besoknya, kau datang dengan tangisan yang termehek-mehek lagi dibalik ponselmu. Kau masih ingat kan sayang, aku tidak menangis lagi, malah tertawa dalam hati. Cuma kayaknya kau masih labil dan terguncang dengan keputusanku, jadi aku tidak tertawa. Tidak tega juga melihatmu menangis. Jangan-jangan kau masih menangis saat ini, walaupun sudah lebih dari limapuluh hari aku mengungkapkan kata-kata berpisah. Jangan salahkan aku sayang, luka dan dukamu ada karena kau yang terlalu mengasihiku.

‘Sayangku yang sok pintar’

Sebenarnya kamu itu pintar dan sangat pintar. Tapi itu menurutmu dan hanya penilaianmu saja. Aku teringat panggilan kecilmu ‘BOLNGA’ goblok dan ngawur kali ya artinya. Entah apalah itu. Lebih bagus deweeh saja sayang. Sayangku yang sok pintar, Lihatlah nilai-nilaimu sejak dari sekolah dasar atau saat kau sudah dibangku kuliah. Pernahkah nilaimu lebih tinggi dariku. Apalagi kalau berbicara NEM. Ah…antara langit dan bumi sayang. Bagaimana jika kita bandingkan dalam satu semester, indeks prestasimu (IP) tidak pernah lebih tinggi dariku. Bahkan IP terkecilku selama kuliah tidak pernah kau lampaui, harus IP dua semester baru bisa menyaingiku. Banyak juga sebenarnya perkataanmu yang sok pintar dan sebenarnya cuma bualan kosong bagiku. Kamu harusnya tahu sayang, aku jauh lebih tahu dari semua yang kau bicarakan, bahkan bualanmu tentang politik. Kamu harusnya sadar sayang, bahwa aku jurusan politik. Tapi, kamu tetap saja memaksakan kata-kata kosongmu dan akhirnya membuat aku muak dan malas untuk berbicara denganmu. Setiap pembicaraan kita, pasti selalu kamu yang mendominasi sayang, padahal semua bualanmu itu sudah kutahu. Kamu harusnya sadar kenapa aku mau bercerita denganmu. Karena di kota ini hanya kau yang sok pintar, kadang sok pintarmu yang ingin ku lihat sebagai tontonan lawak gratisan atau kasarnya kau itu bagiku hanya dangelan orang yang bisa dimanfaatkan untuk disuruh menari dan berjoget-joget. Aku senang melihat rekamanmu yang diponselku, sampai sepupuku bilang bahwa kamu itu camen (cacat mental), saat melihat rekaman yang justru kau banggakan itu. Mau kuhapus sebenarnya rekaman itu, tapi kapan-kapanlah itu, setelah memoryku mau habis. Ah… sayangku yang bodoh! Kapan kau berubah dari sikapmu yang sok pintar itu. Aku ragu kamu bisa menghadapi klien-klienmu atau teman-teman profesimu. Kamu selalu berbicara seakan-akan mereka lebih bodoh dari kamu, tapi sebenarnya kamulah yang sok pintar. Beruntunglah aku sabar mendengar ocehanmu yang sok pintar itu.

Bagaimanapun juga kamu tetap sayangku yang sok pintar. Syukurlah kamu tidak bisa mendefinisikan setiap kisah cinta kita dalam tulisanmu itu. Aku sudah yakin, kau itu sok pintar, masa mendefinisikan cinta saja belum mampu, sudah mau merebut dan meluluhkan hatiku. Tapi, sayangku, kekasihku, pujaan hatiku. Jangan sampai kau mendefinisikan kisah cinta kita pada sobat-sobatmu, apalagi sampai menceritakan apa yang pernah kita jalani. Biarlah ini menjadi rahasia kita berdua sayang. Janji ya sayang ! Kamu pasti mengerti dan tidak terlalu bodoh dengan maksudku ini kan. Saya harap kamu mengerti sayang, mengapa tidak perlu menceritakan semua kisah cinta kita. Tapi, kalau kamu mau menceritakan juga tidak apa-apa. Itu adalah hakmu. Belum tentu juga orang percaya dengan bualanmu itu. Pastilah mereka lebih percaya padaku sayang. Ah… semakin kuingat kebodohanmu, semakin sayang aku padamu.

Satu lagi sayangku. Saya selalu mengingat saat mengajarkanmu tentang dunia maya, agar kita bisa minimal sekedar email-emailan dan saling menanyakan kabar dari dunia maya. Tapi, sudah sampai keluar amarahku untuk mengajarimu, tetap saja kau tidak bisa. Sebenarnya aku tidak ingin email-emailan denganmu. Aku hanya ingin melihat wajah ketololanmu saat kuajarin dunia maya. Bagaimana wajah yang sok pintar akan malu dan tidak berkutik saat diajarin dunia maya. Padahal saudara-saudaraku yang SMP mungkin SD juga sudah bisa kalau sekedar buka email. Aku bersyukur dengar kabarmu bahwa kau sudah bisa kirim email. Tapi, maaf ya sayang, aku tidak pernah balas emailmu. Sebenarnya dari dulu aku tidak begitu ingin beremail-emailan denganmu. Itulah alasannya, setelah kau bisa ber_email ria, aku tidak begitu respon dengan semua pesan lewat emailmu, makanya tak ada satupun yang kubalas. Ah…bagaimana kelak nasibmu buka kantor hukum, jangan sampai kau bilang bahwa anak buahmu bodoh-bodoh, padahal kaulah sebenarnya yang sedang dibodohin. Sayangku, kamu kayaknya belum bisa ganti password ya. Jadi semua rahasiamu masih bisa kulihat, kan aku yang buat semua pernak-pernikmu di dunia maya dan tentu aku masih ingat passwordmu. Kapankah engkau jadi pintar sayang.

‘Sayangku yang sombong’

Seharusnya kamu sadar dan bukan sombong akan cinta kita. Aku melakukannya karena aku belum menemukan tambatan hati. Kamu itu terlalu jelek dan tak pantaslah untukku. Kamu itu terlalu sombong dan tinggi hati tapi kurang tinggi badan. Ups..sorry, just Kidding. Harusnya kamu sadar saat sering kukatakan setiap perjalanan kita. Kalau kita berjalan, kau lebih cocok jadi supirku dan bukan kekasihku. Tapi, kalau kulihat wajahmu sudah memerah karena marah atau malu, cukup dengan satu kecupan, kau pasti akan gembira kembali serasa bahwa aku hanyalah milikmu dan aku hanya mencintaimu. Sebenarnya kau juga harus sadar sayang, saat aku bercerita bahwa banyak sekali jiwa lain yang mendekatiku. Sudah kuceritakan berkali-kali, kau tetap sombong dan percaya bahwa aku tidak akan berpaling. Kamu kira kamu itu siapa sayang ! Sudah banyak yang kulakukan dibelakangmu dengan jiwa-jiwa lain. Untunglah kau setia, sehingga setiap kali aku butuh kau, kau selalu hadir dengan segera. Itulah makanya aku sangat cemburu andaikan kau dekat dengan wanita lain, karena aku tidak ingin mainanku pergi dan meninggalkan aku. Ah… sayangku. Kau terlalu sayang untuk ditinggalkan. Aku hanya ingin melihat, darah sombongmu berubah dan hilang saat aku katakan bahwa aku tidak mencintaimu. Hahaha. Maaf sayang, aku tidak mengejekmu, tapi hanya sekedar mengatakan fakta dan realita. Kita masih hidup di dunia nyata, sayang. Jangan terlalu tinggi mimpimu atas kehidupan ini yang kadang aku tidak bisa menjangkaunya.

Sayang…, jangan bangga dengan segala pemberianku, yang kau bilang telah memenuhi ruang dan sudut setiap kamarmu. Apalagi dengan baju-baju yang ku kasih, itu banyaknya barang loak sayang. Kamu kan sudah dengar penjelasanku. Kadang harganya tidak sampai sepuluh ribu. Apalagi dengan tas yang sering kau pake ke kantor. Memang ada baju-baju mahal yang kubelikan, bukan karena aku ingin memberikan yang terbaik, tapi kamu terlalu sombong dengan penampilanmu yang menyangka bahwa kau itu fashionable, padahal bajumu itu gak ada yang bagus, makanya kubelikan yang bagus biar kalau kita berjalan bersama, kita agak imbang. Makasih ya sayang, kau telah menemaniku selama ada di kotamu, kau setia mengangkat tasku saat aku sedang belanja dan memutari berbagai Factory outlet. Wajarlah kukasih baju, karena kalau menyewa pengangkat barang pastilah lebih mahal dan belum tentu bisa menghibur seperti dirimu. Maaf sayang, aku tidak pernah membelikan celana padamu, padahal celanamu yang kita beli dulu sudah sobek-sobek. Bukan tidak mau, tapi perutmu sekarang cepat buncit, padahal makan masih jauh lebih sedikit daripadaku. Kalaupun kubeli, pasti cepat kesempitan. Mungkin kau cacingan sekarang sayang, jadi mirip busung lapar tuh perut. Tapi, aku suka kok dengan perutmu yang semakin buncit itu.

‘Sayangku yang sangat setia dan selalu ceria’

Janganlah engkau terlalu lugu dan terlalu setia menunggu cintaku disana. Janganlah kau terlalu cengeng dengan ratapan-ratapanmu untuk mengharapkan ku kembali dan janganlah engkau terlalu setia untuk sombong, bahwa aku sangat mencintaimu. Aku sudah menemukan tambatan hati yang siap mendengarkan ceritaku dan tentu berbeda denganmu. Dia sangat pintar dan tidak selugu dirimu, walaupun mungkin samalah cengeng kalian. Aku masih memaklumi hal itu, karena dia masih muda, tidak seperti dirimu yang sudah tua dan tahun depan sudah umur 29 tahun. Sampai kapan kau hendak menungguku sayang…??? Aku hanya akan mau kembali, jika aku ingin menikmati keluguanmu dan kebodohanmu. Kapan menari-nari lagi sayang ?? Tapi jangan kuatir sayang, kalau aku sudah mulai jenuh dan cintaku belagu, aku akan kembali kepadamu, tapi tidak untuk mengikat janji setia. Makanya waktu aku tahu kau akan menyatakan pada dunia tentang hubungan kita, aku langsung pasang-kuda-kuda dan segara menyematkan kata-kata berpisah. Betul sayang, hidup ini penuh misteri, aku juga tidak tahu apa yang akan terjadi kedepan. Ah… indahnya hidup ini sayang, bisa bertemu denganmu. Orang yang sangat unik. Inilah unikmu, saat aku katakan, bahwa aku menyukaimu karena unik. Unik banget. Pokoknya culun, polos, enak untuk dikerjain, dikibulin dan dimarah-marahin. Pokoknya digimanain juga pasti setia dan selalu ceria. Jadi, kamu sudah sadar kan, mengapa aku meninggalkanmu. Mau disakitin juga, pasti akan terus memaafkan dan mencintaiku dan akhirnya kau sangat kecewa saat aku telah menemukan tambatan hati dan mengkhianatimu. Semogalah kau tetap ceria sayang. Makasih juga pernah ngerjain aku ya sayang.

Maafkan aku sayang ! Tulisanku agak panjang dan lebih bermutu dari tulisanmu. Bahkan, Sebenarnya mengapa aku tidak mau membaca tulisan-tulisanmu yang selalu kau banggakan itu, karena aku jauh lebih pintar menulis darimu dan tentu jauh lebih menarik dan renyah untuk dibaca. Betul sayangku, cinta itu indah, tapi carilah cinta yang real dan nyata, agar kau tidak menikmati cinta dalam fatamorgana yang berkepanjangan. Jangan salah mengartikan cintaku sayang. Dan, tidak usah lagi kau setia mengenang cerita cinta kita atau setia melihat rumahku yang sering kau singgahi dulu. Semua kenangan denganmu sudah kukubur dan kutendang sekuat-kuatnya. Hmm, pokoknya kutendang seperti saat kau tendang batu di pertemuan terakhir kita dan sepatumu pun ikut terbang. Ah…Dasar pria bodoh dan goblok. Kalau masih susah juga melupakan kisah kita, hanyutkan saja cerita cinta kita ke depan sungai depan rumahku yang dulu. Sekarang kan musim hujun, pasti bentar lagi banjir tuh. Tapi, keluguan dan kebodohanmu tetap kuingat kok. Manatau lagi stress dan pusing kerjaan kantor atau lagi ribut dengan cintaku, aku pasti ingat hal yang lucu-lucu denganmu. Kayaknya cocok kau sayang bergabung dengan bolot Cs. Biar berkumpullah kalian orang-orang bodoh, bolot dan sebangsanya, untuk menghibur masyarakat kita yang semakin penuh dengan tekanan hidup ini.

Sayangku…! Kekasihku…!! Pujaan hatiku…!!!

Aku harus mengatakan kata-kata yang sangat menyakitkan bagimu, agar kau segera keluar dari keluguanmu, kepolosanmu dan kebodohanmu. Saya harap kau tidak perlu termehek-mehek dan mencucurkan airmata dengan kata-kataku ini, tapi justru ceria sambil tersenyum dan menari-nari menghadapi kenyataan hidup ini. Maafkan untuk cintaku yang terlalu menyakitkan bagimu. Inilah kenyataan hidup sayang. Semuanya masih misteri, akupun belum tahu apa yang akan terjadi atas hidupku kedepannya sayang. Temukanlah jawaban misteri itu dalam sabdaNya. Maafkan jika kau kusayangi dan akhirnya kutinggalkan. Aku tetap berdoa untukmu sayang, agar kau mendapatkan yang terbaik sebagai pasangan hidupmu. Pokoknya yang lebih baik dariku.
Semoga sayangku…!

‘Selamat menikmati hidup tanpa cintaku, selamat tinggal sayangku…!’


Untuk kekasihku yang sangat mencintaiku, yang kutahu cintanya tidak akan pernah berakhir bagiku. Aku sangat menyayangimu. I love you sayang. MaafkanSayang …aku mau melupakan dirimu.


Kota cinta kita, 4 November 2008, 16.25 wib

With Love

Sayangmu…



Untuk Sayangku…

Sayang, aku sudah menerima balasan tulisanmu. Ah…aku tidak bisa memberi komentar atas tulisanmu sayang. Tapi, hanya kau sayang yang memberi balasan atas tulisanku dari ratusan sobat-sobatku yang lain. Mungkin juga tulisanku tidak pernah sampai kepada tangan mereka atau mereka hanya memberikan dukungan doa untukku, karena akupun tidak pernah berharap dapat balasan dari mereka, bahkan darimu.

Mungkin benar juga dirimu sayang, aku terlalu bodoh dan naĂŻf mengartikan cintamu atas hidupku. Harusnya aku sadar dari sejak pertemuan kita dahulu. Dari saat adanya getaran cinta, aku harusnya bersikap pintar dan mengambil langkah suci. Pastilah kita saat ini ada dalam ikatan cinta yang abadi, yang diikatkan oleh kasihNya. Ah…mungkin aku terlalu bebal sayang, atas semua peringatan yang pernah kudengar seiring dengan cinta yang tak terdefinisikan olehku. Aku sadar sayang atas sikapku, meski aku tidak pernah menyangka akan beginilah nasib sang pencinta, yang justru tenggelam didalam ladang-ladang duka, yang terhunus di dalam lara yang berkepanjangan dan yang tak henti-hentinya mengalirkan kepedihan dalam tetesan airmata yang terbendung.

Sudahlah sayang, yang kutahu apa yang bodoh bagi dunia ini akan dipakai untuk mempermalukan orang-orang bijak. Tak ada luka dan derita dalam hidupku berkaitan dengan rangkaian tulisanmu yang menarik untuk dibaca. Justru aku terhibur dan tertawa, karena ada benarnya juga tulisanmu sayang. Sekalipun aku justru kadang merasa hina seiring dengan cintaku dan kebodohanku untuk mencintaimu. Aku pasti akan memberikan balasan atas tulisan-tulisanmu dengan cerita yang bisa menyegarkan dan memberikan tawa bagi kita. Memang cinta misteri, tapi pastilah ada jawaban atas misteri cinta itu. Ah…benar juga kau sayang, kau sangat sayang untuk dilupakan. Apalagi saat kuketahui bahwa kau sangat pandai untuk menulis.

Duhai hidup yang memilukan, duhai hidup yang penuh misteri. Aku hanya percaya, ada tangan kasihNya yang akan membalut setiap luka-luka dan kepedihan dalam hatiku. Ada pelukan hangatNya yang akan membebat setiap lara dalam tekanan batinku. Ah…apa juga untungnya kuceritakan lukaku ini kepadamu. Aku mau bersikap bijak dan mengambil sesuatu yang indah dalam kisah kita ini. Mungkin saat ini aku sangat sulit untuk berpindah hati kepada wanita lain, tapi aku akan mencobanya sayang.

Sayang, mengenai password memang belum kuganti, tapi kelak akan kuganti. Mengenai baju, mau dari loak, mau punya bapa, mama, ade-ademu atau pembantumu, mau dari jemuran tetanggapun kau ambil, bagiku itu adalah sesuatu yang indah. Apalagi bajumu. Ah…lah terkataken indahnya. Sayang, jangan kau ceritakan kebodohan-kebodohanku kepada orang lain, cukuplah kau yang tahu kebodohan-kebodohanku, akupun selalu menjaga rahasia cinta kita. Biarlah hanya kita yang mengetahui kebodohan kita. Masa aku ceritakan bahwa kau pernah ee dicelana dan semua kebodohan lain.
Ah.. sayang…sudahlah. Doakan saja aku dari kejauhan, sayang, agar cepat pulih, dari luka-luka kisah cinta yang salah ini…


Bandung, 6 November 2008 16.12 Wib


Dewinson

Kamis, 20 Mei 2010

Keluhku Pun Tidak Tersembunyi BagiMu



Tidak ada yg sehat pd dagingku oleh krn amarahMu, sebab kesalahanku telah menimpa kepalaku, semuanya spt beban berat yg mjd terlalu berat bagiku. sepanjang hari aku berjalan dgn dukacita, aku kehabisan tenaga dan remuk redam. aku merintih krn degub-degub jantungku. Tuhan, Engkau mengetahui segala keinginanku, dan keluhku pun tdk tersembunyi bagi-Mu. Jantungku berdebar-debar, kekuatanku hilang, dan cahaya mataku pun lenyap.

Pikirku : " Aku hendak menjaga diri, supaya aku jgn berdosa dgn lidahku..." Aku kelu, aku diam, aku membisu, aku jauh dr hal-hal yg baik, tp penderitaanku makin berat. Ia hanyalah bayangan yg berlalu! Ia hanya mempeributkan yg sia-sia dan menimbun, tetapi tdk tahu, siapa yg meraupnya nanti. Dan skrg, apakah yg kunanti-nantikan ya Tuhan ? kpd-Mulah aku berharap.

Aku sgt menanti-nantikan Tuhan, lalu Ia menjenguk kpdku dan mendengar teriakku minta tolong. Ia mengangkat aku dr lobang kebinasaan, Ia menempatkan kakiku di atas bukit batu, menetapkan langkahku. Ia memberikan nyanyian baru dlm mulutku utk memuji Allah kita. Aku suka melakukan kehendakMu, ya Allahku. Engkau Tuhan jgnlah menahan rahmatMu dr padaku.

Tuhan membantu ku diranjangku pd wkt sakit, di tempat tidurku Kau pulihkan sama sekali dr sakitku. org yg menjenguk berkata dusta, bahkan sahabat karibku yg ku percayai, yg mkn rotiku, telah mengangkat tumitnya kpdku.

Jiwaku haus kpd Allah, kpd Allah yg hidup. Air mataku mjd mknanku siang dan malam krn sepanjang hari org berkata kpdku "Dimanakah Allahmu?" Inilah yg hendak kuingat, sementara jiwaku gundah gulana, bgmn aku berjalan maju dlm kepadatan manusia mendahului mrk melangkah kerumah Allah. Mengapa engkau tertekan, hai jiwaku dan gelisah di dlm diriku ? berharaplah kpd Allah! sbab aku akan bersyukur lg kpdNya, penolongku dan Allahku ! Jiwaku tertekan dlm diriku, sebab itu aku teringat kpd-Mu. Tuhan memerintahkan kasih setia-Nya pd siang hari dan pd mlm hari aku menyanyikan nyanyian, suatu doa kpd Allah kehidupanku.
Aku berkata kpd Allah, gunung batuku : Mengapakah Engkau melupakan aku ? mengapakah aku hrs hidup berkabung...

Berilah keadilan kpdku, ya Allah, dan perjuangkanlah perkaraku thd kaum yg tdk saleh! luputkanlah aku dr org penipu dan org curang! sebab Engkaulah tempat pengungsianku. suruhlah terangMu dan kesetiaanMu dtg supaya aku dituntun dan dibawa ke gunungMu yg kudus dan ke tempat kediamanMu. Maka aku dpt pergi ke mezbah Allah, menghadap Allah yg adalah sukacita dan kegembiraanku.
Mengapa engkau tertekan, hai jiwaku dan mengapa engkau gelisah di dlm diriku ? Berharaplah kpd Allah! sbab aku bersyukur lg kpdNya, penolongku dan Allahku !



Kamarku menjelang subuh, 28 September 2008

Saat-saat jiwaku tertekan, jantungku berdebar-debar, kekuatanku hilang dan cahaya mataku pun lenyap. Saat airmataku mjd makananku siang dan malam. Aku hanya ingin dipuaskan oleh sabdaNya. Disadur dari tulisan Raja Daud dlm kitab Mazmur Pasal 38 - 43.

Rabu, 12 Mei 2010

Luka - luka tak kunjung kering


Luka-luka tak kunjung kering

Lalu . . . , datang sayap-sayap yang kuat
Menerbangkan khayal dan anganku tentang dirimu
Sangat tinggi dan tinggi, sehingga aku terbuai dengan keindahannya
Entah kemana khayalan ini akan terbang tinggi membawaku
Yang pasti semua yang terlintas dalam anganku adalah tentang kita
Tentang perjalanan saat peraduan kasih hanya denganmu
Sampai pada titik aku terjatuh dalam kesadaranku
Dan aku sadari, cinta ini belum pudar
Masih ada dan tersimpan utuh dihatiku
Ajukanlah salahku atas semuanya ini ?
Adakah yang lebih salah, diatas penghianatan kasih ?
Tentu tidak ingin aku melukai hatiku dengan angan yang semakin jauh
Masih ada harapan baru untuk menemukan kasih
Pada pribadi yang tentu mengerti mengenai komitmen
Mengenai janji kesetiaan
Ah . . . lebih bijaksana untuk melupakanmu
Lalu aku menemui diriku semakin kuat
Lalu aku melihat luka yang sudah semakin sembuh
Sembuh dari cintamu yang dengan gemilangnya telah menduakan cinta
Aku tertawa dan bersukacita
Lalu, suatu malam datang mimpi tentang dirimu
Tentang cintamu yang dahulu begitu kuat
Tentu tak kuundang menghampiri bunga tidurku
Dan kutemui dalam bangunku
Ada airmata yang mengalir di pipi
Terus mengalir meski telah kusadarkan diriku
Terus mengalir walau telah kutenangkan hati dan jiwaku yang menyesakkan
Dan aku menyadari, luka ini belum sembuh
Masih ada luka-luka yang terkoyak kembali dari pemulihannya
Masih ada luka-luka yang tak kunjung kering


02 Maret 2009
Saat airmataku mendahului bangunku. Saat teriakan hati terlukiskan dengan tetesan airmata
Pagi ini, dalam balutan kasihNya aku terus mengadu
Aku ingin dipulihkan…!!!

Jumat, 12 Februari 2010

Belum kutemukan sampai menjelang hari Valentine ini


“Mencari jalan Pahlawan di kotamu, untuk mengembalikan coklat pemberianmu”


Aku hanya punya waktu singkat, mungkin hanya seminggu di kota ini.

Ah, entah kenapa aku bertindak nekat untuk pergi ke kota ini. Ini semua gara-gara coklat. Iya, coklat. Entah kenapa, kekuatan coklat ini bisa membawaku ke kota ini. Sejak aku membuka laci lemari bajuku dan melihat coklat ini, aku hanya mengingat orang yg memberikannya padaku.

Keesokan harinya aku melihat berita-berita tentang kota itu dari televisi. Lalu, datanglah tetanggaku, seorang sahabat yg baru saja meninggalkan kota itu dengan wajahnya yg sangat panic. Aku menanyakan kepadanya tentang keadaan kota itu, tentang keadaan orang-orang yg terluput dari kejadian yg menggemparkan kota itu.

Katanya kepadaku “ Orang-orang masih sangat banyak yang tertimbun reruntuhan, banyak yang terjepit diantara bangunan-bangunan kokoh yg rubuh dan sebagian besar masih hidup dan ditolong oleh regu-regu penolong, agar bisa selamat “

Ketika kudengar kabar itu dan kulihat berita-berita mengenai kota itu, aku hanya duduk dan berkabung sambil bertanya-tanya “Bagaimanakah keadaanmu?” Sangat sulit untuk menjalin komunikasi yang jaringannya terputus oleh kejadian tersebut. Dan, ahirnya aku sampai ke kota ini.

Ah, niatku sebenarnya kurang tulus dengan ikut Tim Penanganan Bencana ke kota ini. Ada yang lebih dari sekedar untuk menolong korban, kehadiranku datang ke kota ini. Tapi, aku sudah di sini, di kota ini yang tentunya harus mengikuti arahan dari ketua Tim Penanganan Bencana, sehingga tidak sesuka hatiku untuk berkeliling-keliling melihat keadaan kota ini. Sampai suatu waktu, pada hari terakhir aku di kota ini, aku berkeliling karena kelonggaran waktu yg diberikan pada setiap anggota tim.

Aku tidak tahu kota ini, aku juga tidak tahu jalan-jalan di kota ini tapi, aku tahu alamat rumahmu. Aku berjalan, sampai akhirnya aku temukan rumahmu yang masih berdiri kokoh, tepat hanya beberapa rumah di samping posko bantuan yang agak besar untuk korban di kotamu. Meski hatiku masih bertanya-tanya tentang keadaanmu karena, bukan rumahmulah yang ku khawatirkan, karena bukan melihat keadaan rumahmulah tujuanku bisa di kota ini. Aku ingin masuk kerumahmu tapi, akan terlalu lancang untuk masuk kerumahmu dan belum tentu juga ingatan ku benar tentang alamat rumahmu, yang pernah kau ucapkan padaku.

Ah…dari cerita yang kudengar darimu, pastilah ini rumahmu tapi, begitu banyaknyalah jalan yang sama di setiap kota. Bahkan di kotaku, entah berapa banyak nama jalan seperti jalan Jend. Sudirman, Jalan Jend. Ahmad Yani atau nama jalan dengan memakai nama-nama pahlawan lainnya. Mungkin juga nama pahlawan jalan rumahmu ada puluhan di kotamu.

“Ah…sudahlah”. Sahutku dalam hati. Memang tujuan utamaku ke kota ini hanya untuk melihat keadaanmu, hanya untuk mengetahui kondisimu, apakah kau terluput dari bencana di kota ini atau tidak ? Meski, tujuan muliaku adalah menolong para korban. Pikirankupun bekerja sambil berbicara dengan hatiku “Ah, tidak mungkin setelah aku melakukan pekerjaan baik, Tuhan tidak akan mempertemukan kita ?”

Aku berhenti sejenak sambil mengingat alamat rumahmu diantara banyaknya jalan nama pahlawan nasional di bangsa ini, yang pasti aku tidak lupa dengan nomor rumahmu. Tiba-tiba, aku melihat wajahmu, yang masih persis sama sejak kita berpisah. Aku bingung, entah karena kaget atau karena sukacita. Yang pasti aku tidak tahu mau berbuat apa, saat melihat kau sedang berjalan di dekat rumah yang memang sudah kuduga adalah rumahmu. Aku ternyata tidak salah ingat dengan alamat yang pernah kau ucapkan. Kau berdiri diantara keluargamu yang memang sudah kukenal, sedang berbincang dengan seriusnya. Entah apa yang sedang kalian perbincangkan atau mungkin juga kalian sedang mencari sesuatu atau mungkinkah sedang membicarakan nasib orang-orang ?

Aku tidak tahu pasti, meski aku bisa memastikan, bahwa kalian sedang tidak memperbincangkan diriku. Ah…tapi yang sangat pasti, aku sangat senang dan bahagia melihat keadaanmu baik-baik saja. Yah, keadaanmu dan keluargamu tentunya.

Sampai akhirnya kalian sekeluarga pergi entah kemana dengan mobil hitam tersebut, aku hanya terdiam. Terdiam karena sebenarnya tidak tahu apa yang harus ku lakukan. Belum tentu juga kau akan senang, andaikan aku menemuimu, seiring keputusanmu yang sebenarnya sangat kusesalkan.

“Ah… sudahlah” sahutku dalam hati. Tujuanku hanya ingin melihat keadaanmu, apakah engkau terluput dari bencana kota ini. Tujuanku bukanlah ingin berbincang-bincang denganmu atau merajut kembali kisah yang telah usai, sekalipun masih ada sedikit kerinduan, itu terjadi. Tapi, terlebih lagi, tujuan muliaku hanya ingin menolong korban yang sedang dalam sulitnya.

Lalu, kuambil coklat berbentuk love yang melekat pada tangkainya dari ranselku, yang sengaja kubawa dari kotaku. Kutatap dan kuamati, sambil mengenang kejadian saat kau memberikannya kepadaku. Entah apa kekuatan yang tersimpan dalam coklat tersebut, sampai aku bisa memberanikan diri untuk bergabung dengan Tim Penanganan Bencana agar sampai ke kota ini. Aku lihat dan segera ku lemparkan coklat tersebut ke atap rumahmu. Kalau kau tiba-tiba menemukan coklat itu, kau pasti tidak asing akan benda berbentuk love tersebut. Aku masih ingat saat kau memberikannya tepat di hari Valentine tapi, aku lupa tahun berapa. Mungkin 6 atau 7 tahun yang lalu. Kau pasti belum tahu alasan mengapa aku tidak pernah memakan coklat pemberianmu itu, sekalipun sudah beberapa kali kau sarankan. Bahkan kau tahu betul dimana kusimpan coklat tersebut.

Ah…tidak perlu ku ungkapkan alasannya apa ? Kau pun tidak sedang di hadapanku saat ini. Dan tidak mungkin juga pagarmu atau tanaman yang ada di halamanmu bisa menyampaikannya padamu. Semoga kau bisa melihat coklat love pemberianmu dulu kepadaku. Kalau kau menemukannya, aku hanya mengucapkan “Happy Valentine Day”.

“Ah…lebih baik aku kembali ke pos kami” sahutku dalam hati. Sambil berjalan menuju posko kami, aku hanya menatap orang-orang dengan muka-muka muram yang sedang lalu lalang dijalanan kota ini, yang mungkin berkabung karena telah kehilangan sanak saudaranya atau kerabatnya atau harta bendanya. Mungkin juga mereka berpikiran sama terhadapku, saat mereka melihat sinar wajahku yang muram, tapi aku tidak sedang kehilangan saudara, aku tidak sedang kehilangan kerabat atau harta benda, sobat. Tapi, aku sedang kehilangan cinta yang belum kutemukan sampai menjelang hari Valentine ini.


Bandung, 12 Februari 2010

“Saat-saat terus mencoba berkarya, sambil mengingat keindahan hari Kasih Sayang. Aku tidak sedang mengingatmu, aku tidak sedang menginginkan coklat darimu, tapi aku sedang bersukacita karena ada diantara sahabat-sahabat, untuk membagikan kasih serta coklat di hari Valentine ini kepada adik-adik kita“

Dewinson Aritonang

Jumat, 29 Januari 2010

Ningsih Ingin Tetap Tinggal Di Kendari


Cinta Dalam Hati Saja


Kendari, 16 Juni 2007
Memang aku tidak tahu lagi dimana orangtuaku keberadaannya sekarang. Tapi, aku sudah lama berada di Kota Kendari, tepatnya di sebelah Timur Kota Kendari. Nama desa ini Toronipa, dengan garis pantainya yang panjang dan sangat indah. Sudah terbiasa sejak kecil melayani keluarga Ningsih, mulai dari sarapan pagi, makan siang dan makan malam. Aku punya adik kembaran, namanya Ayu. Ya, dia memang sangat ayu dan kami memiliki perawakan yang lebih besar dan menarik dari pelayan-pelayan yang lain.

Melayani keluarga ini memang sangat menyenangkan dan selalu ceria. Hal yang paling menyenangkan adalah saat melayani keluarga ini makan malam. Karena selain menyenangkan, setelah makan malam saya sering dibawa untuk sekedar duduk-duduk di depan beranda rumah yang mengarah ke pantai, sebelum Pak Rono berangkat berlayar untuk menangkap ikan ke laut.

Dari cerita yang kudengar, sudah lama keluarga Pak Rono merantau dari pulau Jawa ke Sulawesi Tenggara, mereka dulu tinggal di Kendari, iya Kota KENDARI, dengan sejuta pesonanya! Bahkan, mereka sudah ada disini, sejak Kakek Ningsih masih harus mengantar Pak Rono berangkat sekolah ke SD dekat gereja GPDI di kota lama. Tapi, akhir-akhir ini sering terjadi keributan dalam keluarga mereka, sejak perahu nelayan Pak Rono dicuri orang. Pak Rono yang tidak bisa menangkap ikan, membuat perekonomian keluarga semakin carut marut. Sudah hampir 3 bulan Pak Rono hanya memancing ikan sekedar untuk lauk pauk keluarga tersebut, sehingga membuat Ningsih terpaksa keluar sekolah. Aku tidak bisa membantu keluarga ini selain berdoa agar perahu nelayan Pak Rono dikembalikan oleh orang-orang tak bertanggungjawab tersebut.

Beberapa hari kemudian kami sibuk melayani tamu-tamu yang datang dari Bandung. Sampai-sampai tidak ada waktu istirahat. Wah… pokoknya capek banget deh! Tamu kami rupanya adik kandung Pak Rono yang sedang main ke tampat kelahirannya sambil ingin berziarah ke makam orangtua mereka yang sudah meninggal 7 tahun yang lalu. Mereka hanya tiga hari di desa ini dan besok lusa akan pulang. Hari ini malam terakhir sebelum mereka pulang besok sore.

Setelah makan malam, keluarga tersebut berbincang-bincang di teras depan rumah. Angin malam ini sangat kencang, sehingga gemuruh ombak sangat jelas terdengar, namun tidak menyurutkan mereka untuk terus berbincang-bincang. Mereka bercerita tentang banyak hal, mulai dari bisnis, keadaan di Bandung dan sampai cerita hilangnya perahu Pak Rono. Pak Rono mengisahkan kondisi perekonomian keluarga mereka sejak hilangnya perahu tersebut. Setelah lama berbincang, Pak Rono mengutarakan keinginannya kepada adiknya Dewi untuk meminjamkan uang guna membeli perahu nelayan. Tapi, rupanya keluarga Mbak Dewi tidak memiliki uang sebanyak yang diutarakan Pak Rono. Setelah lama berbincang-bincang akhirnya Pak Rono meminta agar Mbak Dewi dan suaminya mengajak Ningsih ke Bandung, supaya bekerja disana. Aku sangat terkejut mendengar keinginan keluarga Pak Rono, terlebih karena Ningsih masih berumur 13 tahunan.
“Ah …, inilah kehidupan yang selalu menyisakan drama perpisahan!” gumulku dalam hati. Ningsih hanya terdiam saat mendengar maksud keluarganya tersebut. Bu Rono juga terdiam sambil memandang Pak Rono heran dengan tatapan kurang setuju atas keinginannya tersebut.

Saat mereka sudah berada di kamar tidurnya seusai perbincangan malam itu dengan keluarga Mbak Dewi, Bu Rono berdiskusi dengan memohon kepada Pak Rono;
“Pak, apa tidak sebaiknya Ningsih tetap di Kendari dulu? Anak kita masih kecil toh Pak! Ibu tidak bisa melepaskan Ningsih ke Bandung apalagi harus kerja di usia dini?”
“Bapak ngerti Bu! Tapi, apa ibu tidak malu dilihat tetangga kalau anak kita tidak sekolah? Biarlah Ningsih ikut ke Bandung, dia di sana bisa kerja atau kalau Mbak Dewi hatinya tergerak, mereka juga akan menyekolahkan Ningsih.” Sahut Pak Rono dengan tegas. Bu Rono hanya terdiam seakan menghindari pertengkaran yang mulai sering terjadi di keluarga tersebut akhir-akhir ini. Ia belum siap melepas anaknya dari hadapannya. Bu Rono hanya berpikir tentang Ningsih yang masih kecil, yang masih usia bermain dengan teman-teman sebayanya sekalipun ia tidak sekolah. Aku hanya melihat raut muka Bu Rono saat berjalan ke dapur. Tidak seceria seperti biasanya. Aku hanya melihat raut muka yang menanggung beban berat. Aku hanya berharap dari perbincangan mereka agar Ningsih tidak jadi berangkat ke Bandung, walaupun Pak Rono sudah meminta Ningsih agar membereskan barang-barang yang perlu dibawanya malam itu. Aku sedikit banyak tahu sifat Pak Rono, jika ia sudah memutuskan sesuatu, sulit baginya untuk mengurungkan niat tersebut.

Aku tahu Ningsih sangat berat meninggalkan rumahnya, keluarganya, kedua adiknya dan teman-teman sepermainannya yang selalu bermain bersama di dekat pantai setiap malam, serta semua kenangan indah yang lahir di desa ini. Ningsih sama sekali tidak membereskan barang-barang yang akan dibawanya besok sore. Dia hanya terdiam dikamarnya sambil berbaring dengan wajah kesal atas keputusan keluarganya tersebut, hingga akhirnya aku mendengar suara tangis dari dalam kamarnya yang menyayat malam hari itu. Aku merasakan tangisan itu seakan membantu angin menusuk raga, yang membuatku semakin merasakan dinginnya malam ini.

Aku sebenarnya ingin menghibur Ningsih saat dia menangis di kamarnya malam itu. Aku tahu arti keluarga bagi dia, tapi itulah keputusan terbaik saat ini bagi keluarganya, yang tentu sangat mengasihi dia. Aku hanya mendengar tangis yang terisak-isak itu dari celah jendelanya yang berdekatan dengan dapur tempat mencuci piring. Memang setiap selesai makan malam, disinilah tempatku dengan gelas-gelas dan piring-piring yang lain menunggu giliran dicuci oleh Ningsih esok pagi, sebelum dia berangkat sekolah. Sekarang kami memang tidak pernah lagi dicuci sebelum jam enam pagi, sejak 2 minggu lalu Ningsih secara terpaksa keluar dari sekolahnya.
Aku ingin menenangkan Ningsih, ingin mendengarkan setiap keluhannya yang mungkin tak bisa diungkapkan terhadap kedua orangtuanya atau sekedar berbagi beban agar aku menanggung sebagian beban tersebut. Aku tahu bagaimana beratnya berpisah dengan orang-orang yang kita cintai. Aku hanya ikut merasakan beratnya perih rasa itu, saat mendengar isak tangis Ningsih malam ini.

“Aku pernah mengalami hal seperti ini!” sahutku pada Ningsih. Aku tahu begitu berat saat aku berpisah dengan keluarga besarku diterik matahari siang itu. Aku masih ingat kejadian itu di pasar baru, saat ibu kamu hendak membeli gelas. Aku berusaha menghindar saat ibu kamu memegang kelompok kami yang ada selusin di kardus-kardus. Aku berharap Kak Irwan dan Kak Chandra atau kakak-kakakku yang lain yang dibeli ibumu. Aku sudah berusaha menghindar. Wajahku sudah kubuat cemberut dan ingusku kubiarkan mengalir dari hidungku, supaya tampangku terlihat jelek, agar akhirnya ibumu tak jadi memilihku. Tapi, bangsa kalian tidak dapat melihat mimik dan rupaku yang sudah kubuat tampak jelek!

“Kamu pasti ingat kejadian tersebut!” Sahutku pada Ningsih. Saat itu usiamu masih sekitar 4 tahunan, yang berdiri tepat disamping ibumu saat ia mulai menawar-nawar harga kami, saat menawar apakah bisa hanya membeli 2 gelas saja. Aku semakin kesal. Kok bisa membeli gelas hanya 2 biji saja, Kan biasanya 1 lusin atau setengah lusin? Tapi, ibumu terus menawar agar kami hanya dapat dibeli dua gelas saja.

Kamu tahu, kami berdua adalah anak terkecil di keluarga gelas tersebut! Wajar kalau kami berdua yang paling cengeng, paling takut dan yang selalu memeluk ibu saat tahu bahwa ibumu hanya akan membeli 2 gelas saja. Kalian pasti tahu kalau dibangsa kami kita dikelompokkan jadi keluarga selusin-selusin. Aku hanya berpikir, kok manusia tidak beradap dan tidak memiliki perasaan yang tega-teganya memisahkan keluarga gelas. Aku mulai menangis agar bukan aku yang dibeli sambil berkali-kali meronta-ronta saat ibumu memegang-megangku, Ayu juga masih erat menggenggam tangan ibuku.

Akhirnya ibumu memilihku dan adik kembarku Ayu. Aku menangis dengan kerasnya sambil berteriak-teriak memanggil ibuku. Adikku Ayu juga menangis sekuat-kuatnya saat genggamannya terlepas dari ibuku. Aku melihat bagaimana ibuku meneteskan airmatanya sambil berusaha tetap tegar. Papaku hanya bisa diam, tanpa mengeluarkan sepatah kata-katapun. Bahkan Kak Irwan dan Kak Chandra yang sering memukulku juga terdiam. Aku tahu papaku ingin agar kami dibeli sekeluarga.

“Kamu mungkin tidak ingat bagaimana kejadian tersebut, karena asik menikmati es cream digenggamanmu!” sahutku lagi dengan lembut kepada Ningsih. Usiaku saat itu masih 6 tahun di hitungan bangsa gelas atau sekitar 6 bulanan kalau hitungan usia manusia. Aku masih melihat bagaimana tangis memilukan Kak Mona dan Kak Rina. Aku masih ingat wajah-wajah sedih keluargaku sampai aku dan Ayu dibungkus dengan koran oleh agen, si penjual gelas yang juga bangsa manusia.

Aku cuma mendengar kata-kata ibuku untuk terakhir kalinya dengan nada serak sambil menangis; “Dewin…jaga adikmu Ayu ya baik-baik…! Kamu harus jaga adikmu dan menjadi kakak yang bertanggungjawab. Rajin kerja kalau disuruh majikan dan jangan lupa untuk selalu berdoa dan ajak adikmu Ayu berdoa!.” Aku masih melihat tangisan mereka yang sedang dipukul-pukul si penjual oleh lembaran-lembaran uang dari ibumu yang diyakini sebagai penglaris, sampai akhirnya aku dan Ayu dimasukkan ke keranjang belanja ibumu.

Ah… kejadian itu sangat menyesakkan, memilukan, dan menyakitkan bagiku. Dulu aku juga sangat kesal dan tidak betah tinggal di keluarga ini dan sangat membenci ibumu yang tega-teganya telah memisahkan kami. Tapi, seiring waktu berjalan aku sangat menikmati berada di keluarga ini. Aku sangat mencintai kalian, sekalipun aku masih sering teringat akan keluargaku. Entah dimana sekarang mereka, tapi yang aku tahu Tuhan juga pasti menjagai mereka, pasti sudah berada di keluarga yang baik dan harmonis.

Aku berharap mereka tidak dibeli oleh keluarga seperti Pak Bondes. Keluarga ini sangat tidak harmonis dan kami bangsa gelas serta piringlah yang selalu jadi sasaran dilempar oleh Pak Bondes, sampai akhirnya nyawa gelas-gelas tersebut meregang saat berhamburan terpecah-pecah mengenai lantai dirumahnya. Itu memang cerita yang selalu ada di bangsa gelas, agar tidak dibeli oleh keluarga seperti Pak Bondes yang sering pulang mabuk, yang sering bertengkar, yang sering memukul anak serta istrinya dan melemparkan gelas yang ada didepannya.

“Kamu harus tegar de, menghadapi kehidupan ini!” sahutku pada Ningsih yang masih duduk di kelas 1 SMP. Lalu, Ayu adik kembarku menghampiriku dan merasakan apa yang sedang dialami Ningsih, seakan-akan mengingatkan perpisahan kami dengan kedua orangtua dan kedelapan kakak-kakak kami.

Ayu memelukku sambil meneteskan airmata. Aku tahu apa yang sedang dirasakannya saat ini. Memang sejak perpisahan itu, Ayu berubah menjadi pendiam. Aku selalu berusaha untuk menghibur dia kalau kami sedang tidak bekerja. Kadang aku menyanyi atau menari-nari agar dia terhibur. Saat ini dia sudah dewasa. Ayu yang dulu cengeng sudah mulai tegar dan mengerti tentang cinta, he...he…he…C I N T A … gitu deh! Dan dia sedang gencar-gencarnya mendekati Rendy, adik kandung Ningsih. Memang sudah berkali-kali kuperingatkan agar tidak menaruh hati pada manusia, tapi Rendy sudah menjadi impiannya, pujaannya, SOULMATE dan mimpi terindahnya disetiap saat perbincangan kami. Rendy menjadi penghibur bagi Ayu sejak kami ada dikeluarga ini. Bahkan saat itu kami selalu tertawa bersama kalau melihat Rendy dimandikan di ember mandinya saat masih berusia 2 tahunan.

Mungkin aku gagal mendidik adik kembaranku Ayu, yang suka kepada manusia. Memang dia belum pernah lupa bagaimana pertama kali Rendy minum air susu memakai Ayu saat usianya masih 3 tahunan. Kecupan itulah yang tidak bisa dilupakan adikku Ayu, bagaimana saat bibir merah Rendy mengena dan bersentuhan tepat pada bibir gelas. Kecupan itulah yang tidak bisa Ayu lupakan sampai sekarang. Memang kami berdua jarang dipakai oleh anak-anak Pak Rono, karena kami biasanya hanya dipakai oleh Ayah dan Ibu Rono, mungkin karena ukuran kami yang lebih besar penyebabnya.

Aku juga sebenarnya pernah merasakan sentuhan bibir merah Ningsih saat dia mencoba kopi ayahnya di usia sekitar 8 tahunan. Aku merasakan bagaimana lembutnya bibir merah Ningsih saat menyentuhku. Saat itu serasa berada di langit ketujuh! Dengan nafasnya yang menggetarkan jiwa dan harum semerbak. Aku sangat menikmati kecupan pertama itu sambil berharap agar dia terus meminum kopi bapaknya. Pokoknya sangat berbeda dengan bibir Pak Rono yang hitam, tebal dan kering, apalagi nafasnya sangat bau, bau karena asap rokok dan bau karena jarang sikat gigi. Aku sangat kesal kalau dipakai saat bangun malam hari sebelum berangkat menangkap ikan. Pak Rono langsung minta diseduhkan kopi tanpa sikat gigi dan aku menahan aroma yang sangat tidak mengenakkan.

Ayu tiga hari lalu merasakan kecupan bibir Randy saat dia pulang sekolah. Mungkin karena kecapaian berlari-lari sepulang bermain dipantai selepas sekolah. Randy asal mengambil gelas dan memakai Ayu untuk meneguk air es dari kulkas. Mungkin itulah yang membuat Ayu akhir-akhir ini kasmaran. Aku tidak bosan-bosannya menjelaskan kepada adik tersayangku agar jangan menaruh hati pada manusia, tapi Ayu selalu menjelaskan dengan kata-kata bijaknya, bagaimana garam dilaut dan asam di gunung akhirnya bersatu juga di belanga, bahwa cinta tidak dapat dihalangi oleh siapapun, oleh perbedaan apapun, bahkan tidak bisa dihadang oleh perbedaan warna kulit, ras, suku dan bangsa. Dia selalu percaya bahwa cinta kuat seperti maut, bahkan air deras pun tak dapat memadamkan cinta. Wah…wahh…?? Ah…Entah darimana adikku Ayu belajar kata-kata bijak itu, tapi aku terus menyadarkan dia, bahwa gelas tidak mungkin dapat bersatu dengan manusia.

Setiap kali kami berdebat tentang perbedaan itu, Ayu selalu menjelaskan bahwa segala sesuatunya dapat bersatu dan selalu diakhiri dengan pertengkaran. Semua kata-katanya itu selalu terngiang di telingaku dan selalu berbisik dalam hatiku. Aku sebenarnya bukan tidak menyukai Rendy atau tidak setuju jika dia berhubungan dengan Rendy. Tapi, aku tidak mau adikku Ayu kecewa, aku tidak mau melihat dia bersedih dan patah hati. Aku sangat menyayangi dia, bahkan lebih dari hidupku sendiri, tapi aku belum mampu membuatnya mengerti bahwa mana mungkin gelas dan manusia pacaran, apalagi sampai menikah dan melahirkan anak. “Oh My God…! Dunia sudah mulai gila, gila!” Sahutku dalam hati sambil memegang-megang kepalaku.

Yah…, begitulah Ayu, gelas yang sangat cantik dengan pegangan gelas yang sangat menawan menempel seperti kuping manusia, bahkan menawan hati setiap gelas-gelas pria yang ada dirumah ini. Mungkin akan menawan gelas-gelas yang ada ditempat lain jika mereka pernah bertemu dengan Ayu. Aku sering melihat bagaimana gelas-gelas pria ditempat ini selalu baik terhadap Ayu, selalu mencuri perhatiannya, selalu memberi waktu untuk bermain dengannya, bahkan tidak sedikit yang menjahilinya atau mengganggunya. Tapi, aku selalu menjaganya, aku selalu mengingat pesan ibuku agar selalu menjaga dan bertanggungjawab atasnya.

Aku masih mendengar dari balik jendela bagaimana Ningsih masih tetap menangis terisak-isak. Seakan-akan ini adalah babak akhir dari hidupnya. Aku berusaha melepas pelukkan adikku Ayu dan menyuruhnya tidur. Aku beranjak lebih dekat ke jendela dan melihat airmata terus mengalir dipipi yang hitam manis itu. Aku ingin menghampirinya dan memeluknya.

“Aku tahu dia membutuhkan pelukanku saat ini!” sahutku dalam hati. “Aku tahu, saat ini akulah yang dibutuhkannya, saat ini akulah yang dapat menguatkan dia, saat ini akulah yang paling tepat untuk mendengar dan mengerti apa yang dirasakannya” keluhku dalam hati.

Sampai akhirnya Ningsih mengantuk dan berhenti dari tangisnya sebelum terlelap. Aku masih tetap menatap wajahnya, tubuhnya dan tempat tidurnya dengan sprey warna pink. Entah kenapa, malam itu aku hanya memandangnya dari balik jendela, seakan-akan ada yang hilang dari hidupku yang menyadarkan aku bahwa malam inilah terakhir kali aku melihat Ningsing di rumah ini. Ya...malam ini, menjadi malam terakhir kebersamaan kami.

Aku pasti merindukan sentuhan tangannya memegangku saat pagi hari mencuci seluruh tubuhku. Aku tidak akan merasakan usapannya lagi, saat membilasku dari busa sabun colek ekonomi. Aku merasakan ada suatu yang hilang dari jiwaku menyadari inilah malam terakhir aku bertemu dengan Ningsih. Ah… aku tidak mau jadi gelas gila!” sahutku dalam hati. Apakah aku merasakan cinta terhadap manusia setelah akan berpisah dengannya? Apakah Ningsih juga mengalami hal yang sama, sehingga ia selalu menangis? Mungkinkah dia merasakan getaran hati ini?
Ah…pokoknya aku tidak akan menjadi gelas gila, yang tidak tahu diri kalau mencintai manusia. Aku lebih baik mencintai Reyna, gelas cantik mungil yang sangat lucu dan menggemaskan itu.

Sudah hampir pukul 01.00 pagi, aku terus menatapnya sampai aku tertidur malam itu. Aku terjaga saat Ningsih terbangun dari tidurnya. Ningsih beranjak ke toilet belakang. Saat ia melewati kamar tamu, ia masih mendengar suara suami Mbak Dewi, Pak Rendra, yang sedang berbicara melalui telepon genggamnya. Ningsih hanya mendengar ada barang bagus yang akan dibawanya ke Bandung. Ia tidak menghiraukan percakapan itu. Ia hanya kesal kenapa mereka datang ke desa itu, kenapa mereka berkunjung tepat saat keadaan ekonomi keluarga susah. Ia hanya berpikir bahwa kedatangan merekalah yang menyebabkan ia harus pergi ke Bandung dan meninggalkan keluarga tercintanya.

Pagi harinya, Bu Rono sudah sibuk memasak sambil dibantu oleh Mbak Dewi dan Ningsih. Saat Ningsih mencuci piring dan gelas yang kotor, aku merasa sangat hampa. Ada suatu yang hilang dalam hidupku. Aku merasakan inilah terkahir kalinya aku melihat Ningsih. Airmataku menetes, baru kali ini aku menangis dengan sedihnya sejak berpisah dengan keluargaku. Aku menahan airmata dan kesedihan ini, saat Ayu dan gelas-gelas yang lain menatapku. Aku menikmati usapan terakhir tangan lembut Ningsih ditubuhku, sampai dia menggantungkan kami satu persatu di rak piring.
Entah kenapa, aku mulai merasakan cinta saat akan berpisah. Entah kenapa aku merasakan kehilangan mendalam saat aku tahu Ningsih akan pergi, akan pergi untuk waktu yang tidak pernah ku ketahui. Apalagi bagi bangsa kami sebulan dalam waktu manusia, sama dengan setahun dalam waktu gelas. Aku terus menatap dan memandangi Ayu dengan segala aktivitasnya. Saat ia memetik cabei, saat ia mengupas kentang dan setiap gerak-gerik serta apa saja yang dikerjakannya. Aku melihat wajah yang sedih terpancar diwajahnya, saat ia melewati rak piring. Aku tidak bisa mengungkapkan kesedihan ini, tidak bisa melukiskan perasaan ini. Aku gelisah dan ingin bergegas untuk turut serta ke Bandung.

Saat makan siang, aku berharap untuk terakhir kalinya akulah gelas yang dipakai Ningsih. Tapi, saat gelas sudah mulai diisi air putih, aku tetap disodorkan kehadapan Pak Rono. Aku melihat bagaimana bibir Ningsih saat itu bersentuhan dengan gelas. Dan, mungkin inilah untuk terakhir kalinya aku melihat peristiwa itu. Dia memakai gelas wanita mungil, Reyna. Aku tahu saat ini ada suatu yang aneh dalam hidupku. aku sudah mulai menyukai manusia dan tidak tertarik sama sekali kepada Reyna, gelas pujaanku tesebut.

Aku melihat seraya merasakan saat bibir Ningsih bersentuhan dengan Reyna, seraya merasakan lembutnya sentuhan bibir orang yang paling kucintai saat ini mengecup bibirku. Aku tahu sesaat lagi Ningsih akan pergi ke daerah yang sangat jauh, meski aku tidak tahu sejauh manakah Bandung dari rumah ini. Mungkinkah sejauh pasar tempat aku dibeli, yang harus menaiki angkutan yang sangat lama bagi bangsa kami. Mungkin juga lebih jauh kalau sudah harus menyeberangi laut berhari-hari. Itu sudah berminggu-minggu bagi bangsa kami.

Ah…ternyata kita akan berpisah sangat jauh Ningsih? Kita tidak akan pernah lagi bertemu untuk selamanya! Aku tidak tahu lagi harus berkata apa-apa saat ini, selain menenangkan diriku dengan perasaan cinta yang bergelora! Aku harus menahan hati yang tak menentu ini. Mungkin seperti inilah yang dirasakan Angeli, bagaimana pahitnya perpisahan di flim kesukaan Ningsih –kuch-kuch hota hai-. Aku dengan gelas-gelas lain memang sering ikut menonton dari rak piring, kalau Ningsih menonton DVD di ruang tengah. Kami bahkan pernah menangis bersama saat menonton flim Korea Love Strory In Harvard. Ah, pokoknya seru, walau hanya gelas yang digantung paling sisi kirilah yang dapat melihat TV di ruang tengah keluarga itu.

“Sudah tidak ada lagi yang tertinggal kan?” Tanya Bu Rono pada Mbak Dewi, menyadarkan aku bahwa waktu perpisahan sudah di depan mata. Jantungku berdebar sangat kencang, tapi kadang-kadang lambat hampir tak berdetak. Entah kenapa aku sangat takut akan perpisahan?

“Apakah mungkin aku trauma dengan perpisahan? Sehingga kaki dan tanganku terasa dingin semuanya” Nafasku kutarik dalam-dalam dan tak kusadari aku telah meneteskan airmata.

Ningsih kulihat menangis di pelukan ibunya. Tangannya yang mungil seakan enggan melepaskan pelukan dari tubuh ibunya, yang membuatku semakin terharu.
“Udah, jangan menangis dong sayang, kamu kan akan kerja disana! Nanti, setiap malam mama pasti akan SMS kamu ke Handphone Mbak Dewi!” sahut Bu Rono. Ningsih hanya menganggukkan kepala tanpa mengeluarkan sepatah kata-kata pun.

Sambil melihat mereka bersalaman dalam perpisahan itu, mulutku berkata dengan pelan pada Ningsih. “I love you Ningsih…! Selamat kerja di Bandung ya de…!” Aku hanya berdiri terpaku diantara gelas-gelas lain. Ada yang mendadah Ningsih sambil melambaikan tangannya, ada yang kiss by, ada yang cuek saja dengan keberangkatannya dan aku yang dihinggapi perasaan tak menentu, berusaha untuk menahan tangis dengan menghela nafas panjang.

Di depan teras rumah, Ibu Rono masih terus memeluk Ningsih. Ia pun sebenarnya sangat berat melepas Ningsih berangkat ke kota Bandung. “Kamu tidak bawa gelas sayang, untuk minum di jalan? Atau sudah bisa minum air dengan menenggak dari botol Aqua sekarang?” sahut Bu Rono, saat mereka sedang menunggu PT-PT (angkot).
Dengan nada lirih setengah berbisik, Ningsih menjawab “Nggak usah Bu, nanti pakai sedotan saja minumnya atau beli aqua gelas dijalan!”.

“Sudah, bawa saja satu, manatahu nggak ada sedotan nanti di jalan, kan perjalanan kalian jauh toh! Rendy, ambil satu gelas untuk dibawa kakak!”

Aku terperanjat, seolah ada harapan mengalir dalam tubuhku untuk tetap bersama Ningsih. Randy mengambilku dengan cepat dan berlari ke teras, lalu memasukkanku ke dalam tas Ningsih yang semi transparan. Aku bingung kayak orang bodoh. Antara senang dan haru, bimbang dan ragu bercampur. Lalu aku mengingat Ayu dan langsung melihatnya dari tas Ningsih. Ayu terdiam seakan-akan belum sadar apa sebenarnya yang terjadi dengan aku, apa sebenarnya yang dilakukan Rendy yang tiba-tiba berlari mengambilku lalu memasukkanku ke tas Ningsih.

Aku tidak mungkin meninggalkan Ayu sendiri? Aku tidak dapat berpikir cepat dalam kekalutan. Aku berusaha berteriak menyadari akan berpisah dengan Ayu. Ayu hanya berteriak : “Kak Dewin mau dibawa kemana? Ayu ikut kak! Kakak kan sudah janji tidak akan tinggalin Ayu sendiri. Ayu nggak berani sendirian di sini tanpa kakak! Ayu ikut kak! Kak Dewiiiiin, Ayu ikut! Ayu ikuuut sama kakak!” teriak Ayu sangat keras dengan tangisannya yang menyayat-nyayat hatiku.

Aku bingung…B-I-N-G-U-N-G diantara dua pilihan. Diantara sisi gelap dan terang, diantara senang dan sedih yang mendalam, diantara tawa dan tangis hatiku, diantara kebohongan dan kejujuran pilihanku, diantara kehidupan dan kematian perasaanku. Diantara pilihan yang harus kujalani, tapi kini sedang berada diantara kesuam-suaman perasaan yang tak menentu. Tepat ditengah-tengah pilihan yang sulit. Aku berharap turut serta dengan Ningsih, namun kini aku ingin segera keluar untuk tetap menjaga adikku Ayu. Aku tidak bisa berada dalam kesenangan hati dengan melihat Ayu menderita dalam kesedihan. Aku tidak mungkin tertawa diantara tangisnya, aku tidak mungkin bohong dalam kejujuran hidup ini. Aku tidak mungkin ingkar pada pesan mama dengan meninggalkan Ayu.

Aku ingin turun hanya sekedar mengucapkan berpisah dan memeluk adikku Ayu sambil menebarkan hangat kasihku! Cinta dan kasihku sepenuhnya tetap untukmu de, meski kini sedang bertumbuh mekar tak terbendung untuk Ningsih.
“Maafkan aku de, tidak menepati janjiku untuk selalu menjagamu, maafkan aku ibu, meninggalkan Ayu sendirian!” Mungkin inilah yang dimaksud oleh Pengkotbah, seperti yang pernah kudengar saat Bu Rono sedang membaca Alkitab setiap kali ia bangun pagi!”

Untuk segala sesuatu ada masanya, untuk apapun di bawah langit ada waktunya. Ada waktu untuk lahir, ada waktu untuk meninggal, ada waktu untuk menanam, ada waktu untuk mencabut yang ditanam….; Ada waktu untuk merombak, ada waktu untuk membangun; Ada waktu untuk menangis, ada waktu untuk tertawa; ada waktu untuk meratap, ada waktu untuk menari…; ada waktu untuk memeluk, ada waktu untuk menahan diri dari memeluk…; Ada waktu untuk berdiam diri, ada waktu untuk berbicara. Ia membuat segala sesuatu indah pada waktunya, bahkan Ia memberi kekekalan dalam hati mereka…

“Ada waktunya kita berpisah de…!” Sahutku pada adikku Ayu dari balik tas Ningsih, walaupun aku yakin suaraku tidak akan terdengar lagi oleh Ayu.
Sementara gelas-gelas lain coba menghampiri Ayu sekedar untuk menghibur dan mengucapkan kata-kata bijak. “Tenang saja Ayu, kita akan ada disini menemanimu. Kita pasti akan selalu menjaga kamu!” Ayu kecil hanya terdiam tanpa mengucapkan sepatah katapun. Bahkan, ada gelas-gelas pria yang membuat moment itu untuk bisa dekat dengan Ayu dan sengaja memberi simpati serta penghiburan untuk mendapatkan hati Ayu. Ayu hanya mengingat janji kakaknya, Dewin, yang akan membelikan coklat di hari valentine minggu depan. Dia hanya ingat janji kakaknya yang akan selalu menemaninya nonton TV, saat Ibu Rono menyaksikan ‘Mamamia’ di ruangan tengah. Ah…memang Ayu sangat suka menyaksikan acara tersebut yang seakan membawa dia kepada kehangatan kasih seorang ibu. Ah..itulah terakhir kalinya aku melihat Ayu, adik kesayanganku itu.

Bandung, 31 Juli 2007
Setelah tiba di Bandung, hari itu Ningsih hanya berdiam diri dirumah Mbak Dewi. Dia masih lelah dengan perjalanan dari Kendari. Pikiran dan hatinya masih ada di Kendari, masih ada diantara bayang-bayang wajah orang yang dikasihinya dengan sejuta kenangan yang terus terlintas di benaknya. Sementara Ningsih terdiam sambil melamun, aku hanya terpaku menyaksikan keanggunan parasnya. Bahkan, aku hampir lupa telah meninggalkan orang yang seharusnya kujaga, kutemani dan kuajak berdoa setiap pagi. Kadang cinta memang membuat segalanya lepas kendali, lepas dari tanggungjawab yang ada dalam hidup dan hanya tenggelam dalam rasa yang tak terbendung. Sesekali aku mengingat Ayu di Kendari, entah kenapa sedih tidak terlalu menyelimuti hatiku karena kehadiran Ningsih yang masih menempatkanku di atas meja yang terletak tidak jauh dari tempat tidurnya.

“Ternyata di Bandung jauh lebih membosankan. Jauh lebih menjenuhkan dan tak ada kehidupan” Guman Ningsih dalam hatinya. Ia hanya mencuci piring di pagi hari sambil membantu Mbak Dewi memasak. Mbak Dewi juga masih terus mencari informasi pekerjaan ke teman-temannya untuk Ningsih. Mbak Dewi kerja sore hari di cafĂ© Valerina di daerah Dago dan pulang jam 10.00 malam. Sedangkan Mas Rendra kerja dari pagi hari sebagai buruh di pabrik elektronik di Cimahi. Ia pulang jam 04.00 sore dan lanjut kerja sebagai satpam di Hotel bintang empat dari pukul 07.00 malam sampai pukul 02.00 subuh. Hotel tersebut tidak begitu jauh dari rumah Mbak Dewi di daerah Ciumbeleuit.

Entah kenapa aku tidak terlalu suka melihat sikap dan kehidupan Pak Rendra. Ia lebih banyak diam dirumah. Mungkin juga sifatnya yang pendiam, sehingga tidak terlalu banyak bicara. Suatu sore saat Adzan Magrib tiba, aku termenung merindukan adikku Ayu, merindukan teman-teman sepermainan, merindukan suasana rumah dan tawa khas Rendy. Ah… aku terkenang bagaimana kalau sudah hampir Pukul 07.00 malam, aku sedang sibuk-sibuknya mempersiapkan diri untuk makan malam keluarga Pak Rono. Aku merindukan sekedar duduk bersama di beranda rumah sambil menikmati angin sepoy-sepoy dan gemuruh suara ombak.

Aku sedang menanti Ningsih yang sedang mandi seusai bangun tidur siang tadi. Aku menantikan wangi aroma tubuhnya saat keluar dari kamar mandi nanti. Memang ini moment paling kusenangi dalam kehidupanku. Mencium aroma wangi semerbak Ningsih setiap keluar dari kamar mandi. Ah… gelas-gelas lain pasti menantikan hal yang sama juga. Kalau aku bisa cerita, wanginya tersebut sangat khas dengan wangi sabun Lifebuoy dan aroma samphoo Pantene. Kadang pikiranku agak konyol dan kacau, kalau melihatnya keluar dari kamar mandi dengan tubuh yang hanya ditutupi handuk. Maklumlah…sekalipun aku hanya gelas, aku juga punya naluri lelaki, tapi pikiran itu kubuang jauh-jauh agar tidak menjadi khayalan yang berkepanjangan.

Semakin hari aku semakin mencintai Ningsih. Aku semakin yakin dia juga mencintaiku saat ini. Aku bisa lihat dari gayanya yang mulai berdandan dan semakin dewasa atau dari gaya berjalannya yang selalu diatur setiap melewati rak piring di dapur. Aku juga semakin sering dipakai olehnya saat membuat teh manis di pagi hari. Ah…hari-hari sepertinya indah, hanya ada dalam kebahagiaan dan cinta. Ya…Cinta - L o v e - ! Cinta yang semakin kuat, cinta yang semakin membara dan membelenggu hidupku. Tanpa ada beban, tanpa ada masalah, tanpa begitu banyak pekerjaan dan tanpa harus menahan bau mulut Pak Rono.

Betapa aku hanya menghabiskan waktu kebersamaanku dengan Ningsih dan menikmati indahnya sentuhan bibir merahnya, setiap kali dia meminum teh manis hangat di pagi hari. Sulit aku menceritakan bagaimana lembut dan indahnya bibir itu, bibir yang semakin mekar seiring dengan makin dewasanya Ningsih. Bibir itu selalu merah sekalipun tak pernah diolesi Lipstick dan selalu tampak basah sekalipun tidak pernah memakai Lipgloss. Memang baru tiga hari ini Ningsih minum teh manis setiap pagi, mugkin karena dinginnya suhu udara di Bandung yang berbeda dengan Kendari. Dan, itu menjadi kenangan dan perasaan indah yang tak terlupakan.

Tadi pagi menjadi kenikmatan sendiri bagi hidupku, saat ia meneguk teh manis hangat. Ia memakai baju pink dengan bando di rambutnya. Kamu tahu hari ini hari apa? Yah..., hari ini hari Valentine…hari kasih sayang sedunia. Aku merasa hari inilah tanggal jadian kami. Saat aku mengutarakan isi hatiku dengan mengatakan cinta, Ningsih hanya terdiam seperti tersipu-sipu malu. Ia hanya memegangku lalu meminum kembali teh manis hangat sambil menyaksikan serial drama di TV. Dan aku menikmati lagi sentuhan bibir lembut kekasihku itu. Sekalipun ia tidak menjawab “Ya” dengan pernyataanku, tapi aku yakin, sentuhan bibir itulah pernyataan cinta yang tak perlu diungkapkan dengan kata-kata.

Saat aku sharing dengan teman-teman gelasku yang baru di Bandung pada Dedi, Eva, Wina, Intan dan Noldy di dapur tentang kejadian itu, mereka malah menertawakanku. Apalagi Dedi, malah mencibirku sambil berkata “Dewin, Dewin..!! Kamu itu gelas bodoh, goblok dan paling tolol yang pernah kutemui di dunia ini. Nggak mungkinlah Ningsih mengerti apa yang kamu katakan? Jangankan mengerti ungkapan cintamu itu, mungkin mendengar apa yang kamu katakan saja sudah bagus. Kalau punya keinginan itu jangan terlalu tinggi sobat, nanti jatuhnya sakit kalau tidak kecapaian. Kamu tahu kan, kita bangsa gelas nggak mungkin jadian sama mereka yang peradaban dan kepintarannya jauh diatas kita. Bahkan mereka memang sudah diciptakan menjadi mahluk yang paling mulia diatas bumi ini. Derajat kita sangat jauh sobat dengan manusia!” sahutnya seraya menyadarkan aku.

Eva malah lebih menghina ku dengan kata-kata yang lebih sinis gaya anak gaul “Capee deehh…!! Kamu itu tolol atau bego, aku nggak tahu? Tapi yang kutahu, orang gila juga nggak akan percaya bualanmu itu! Jangan gila dong! Nggak mungkinlah manusia mau pacaran sama gelas. Nanti kalau kalian mau jalan-jalan ke mall, gimana dia menggandengmu? Aku belum bisa bayangkan kalau kalian benar-benar jadian, pasti waktu kiamat sudah dekat! Tinggal menunggu jagat raya ini meledak”

“Kalian tahu nggak kalau hari ini hari valentine? Hari kasih sayang sedunia?” Sahutku meredakan ejekan mereka. Lalu berkata dengan tenang pada mereka “Hari ini, hari yang benar-benar paling tepat untuk menyatakan cinta dan perasaan kita! Aku bisa lihat dan rasakan sikap dan gerak-gerik Ningsih setiap kali menyentuhkan bibir merahnya padaku. Apakah tidak terlalu berlebihan kalau aku bilang kami sudah jadian? Sudah mengikatkan tali hubungan dan saling mencintai” Sambutku dengan nada agak naik dan tetap sabar menjawab tanggapan dan ejekan teman-temanku di rak piring.

“Ah…kalian saja gelas bodoh dan kuno, yang tidak mengikuti peradaban dan perkembangan jaman, yang tak mengerti bahwa cinta boleh dimiliki oleh siapapun dan dapat dinyatakan pada siapapun, asalkan dia menerima tanpa paksaan” sahutku sambil meninggalkan mereka sekalipun mereka masih terus mengejekku.
Tiba-tiba Pak Rendra keluar dari kamarnya sambil membawa gelas bekas kopi tadi pagi, lalu meletakkannya tepat dekat dengan kami yang sudah bersih di rak piring. Kami semua diam, agar Pak Rendra tidak mendengar pembicaraan kami. Benny, gelas yang baru diletakkan Pak Rendra, menghampiri kami dengan muka agak pucat dan bingung. Entah apa yang baru dia lihat di kamar tidur, tapi kami penasaran ingin mendengarnya. Kami masih diam menunggu sampai Pak Rendra pergi dari dapur tersebut.

“Kamu kenapa Ben pucat gitu? Seperti baru lihat hantu di siang bolong?” sahut Noldy penasaran. Tapi Benny masih terdiam dengan nafas yang tidak teratur.
“Kamu habis melakukan kesalahan ya di kamar, lalu dipukul Pak Rendra?” sahut Wina dengan lembut.

“Jawab Ben! Hardik Dedi semakin penasaran. Jangan-jangan kamu lihat Pak Rendra sedang nonton flim porno di kamar ya? Atau, melihat Pak Rendra sedang melakukan hal-hal gila lainnya?” paparnya dengan bercanda.

Aku terdiam dan mulai cemas. Sepertinya Benny mendengar atau melihat sesuatu kejadian yang tidak mengenakkan atau menyangkut keselamatan dari keluarga Pak Rendra. Mungkinkah dia mendengar keluhan Pak Rendra dikamar, bahwa dia di PHK dari tempat kerjanya? Karena sering kali kami melihat Pak Rendra sikapnya tidak menentu dan selalu berdiam diri. Seperti sedang memikirkan sesuatu yang sangat berat. Dugaanku, dia mendengarkan tentang PHK pekerjaan, karena bangsa Indonesia, tempat kami berada sekarang ini, sangat memprihatinkan perekonomiannya. Sehingga, banyak sekali orang yang di PHK dan sangat sulit untuk mendapatkan kerja.
Aku berusaha menenangkannya lalu membiarkannya berbicara. Lalu, Benny berbicara dengan terbata-bata “Ningsih…Ning-sih..”

Aku terperanjat kaget, jantungku berdetak kencang dan langsung menoleh kearah kamar mandi. Memang sudah agak lama Ningsih ada di kamar mandi, tapi ada apa dengan Ningsihku? Sahutku dalam hati, sambil menenangkan Benny.

“Ada apa dengan Ningsih Ben?” sahut Wina dengan kaget.
Aku bingung sambil berpikir. Kalaupun ada sesuatu dengan Ningsih di kamar mandi, kenapa Benny yang tahu, kan dia dari tadi pagi ada di kamar tidurnya Pak Rendra? Pak Rendra juga tidak mengarah ke kamar mandi untuk memberikan pertolongan kepada Ningsih?

“Coba kamu bicara lebih tenang lagi.” Sahut Intan lebih sabar dan tegas.
Aku sesekali masih melihat ke arah kamar mandi, sambil berharap tidak terjadi sesuatu dengan Ningsih. Aku masih kaget dan belum mengerti apa yang terjadi dengan Ningsih, dengan Ningsih pujaan hatiku itu.

“Ningsih…!” sahut Benny dengan lirih yang membuatku semakin penasaran.

“Ningsih, Ning-sih… akan dijual malam ini oleh Pak Rendra ke lelaki yang barusan meneleponnya!!”

“Hahh…maksudmu apa Ben?” sahut Dedi sambil menatap Benny dengan heran.
Aku terdiam, antara kaget dan tidak mengerti dengan ucapan Benny. Kami saling berpandangan, lalu melihat ke arah Benny agar dia menjelaskan dengan tenang apa yang ia dengar selama berada di kamar Pak Rendra. Wina pun berusaha menenangkan Benny sambil merangkulnya. Kami masih bingung, terlebih aku, bingung dan kaget. Jantungku berdebar dengan kencang, merasakan ada yang tidak beres dengan Pak Rendra, terlebih menyangkut Ningsih. Meski aku belum tahu kepastiaan informasi yang didapat Benny. Aku semakin tak tenang sambil sesekali terus melihat kearah kamar mandi, berharap tidak terjadi apa-apa dengan Ningsih.

“Ada tamu Hotel SARINA, tempat kerja Pak Rendra sebagai satpam yang sedang mencari gadis dibawah umur. Katanya, tamu itu dari kemarin mencari gadis belia untuk melampiaskan nafsu bejatnya. Aku hanya melihat Pak Rendra berputar-putar dikamar seperti kebingungan” Lanjut Benny. Lalu, tiba-tiba terdengar bunyi telepon genggam Pak Rendra. Aku hanya mendengar percakapan mereka sekilas:

“Pak Rendra.., apakah ada gadis yang kutanya tadi malam? Kalau bisa yang berumur 15 tahun kebawah. Aku sudah bosan dengan wanita-wanita nakal di hotel ini, yang sudah berumur diatas 25 tahun. Aku ingin menikmati kepolosan gadis belia. Kalau dia masih perawan, aku berani bayar 40 juta dan buat Pak Rendra 10 juta” sahut tamu tersebut dari balik telepon.

“Pak Rendra hanya terdiam, mereka masih berbincang-bincang sekitar lima menit lagi” lanjut Benny. Lalu Pak Rendra menjawab “Aku ada barangnya, nanti malam jam 09.00 aku antar ke kamarmu bos!”

“Umur berapa dia Pak? Apa masih perawan?” dengarku dari penelopon tersebut.
“Masih umur 13 tahun, dia masih perawan. Baru aku bawa dari kampung” sahut Pak Rendra dengan nada lirih ketakutan. Nanti kusuruh dia masuk ke kamar bapak, namanya Ningsih” sahut Pak Rendra dengan bibir bergetar-getar. Lanjut Benny serius.
Aku kaget, sekaligus takut. Tangan dan kakiku mulai terasa dingin sambil meyakinkan Benny, apakah yang didengarnya itu benar dan tidak sedang bercanda?
“Ben, lho jangan ngerjain kami ya. Nggak mungkin Pak Rendra menjual keponakannya sendiri?” sahut Noldy kesal.

“Ngakk mungkin Ben, Pak Rendra melakukan itu. Kamu jangan becanda dong?” sahut Eva.
“Sumpah!! Itu yang kudengar selama dikamar Pak Rendra. Aku justru berpikir, apa yang dapat kita lakukan untuk menolong Ningsih! Sahut Benny dengan bijak.
Tiba-tiba Ningsih keluar dari kamar mandi dengan handuk putih, yang menutupi tubuhnya yang indah. Aku tak dapat lagi berpikir selain ingin berteriak saat Ningsih nanti menghampiri rak piring. Aku melihat bagaimana rambutnya diikat dengan bibir yang bergetar menahan dinginnya air bak sewaktu mandi. Tak ada lagi terlintas pikiran konyol dalam benakku, selain ingin menyampaikan pesan bahwa dia sedang dalam bahaya.

“Ningsih..Ningsih..kamu harus hati-hati, Pak Rendara ingin menjualmu malam ini” sahutku dengan lantang saat ia melewati rak piring. Teman-teman yang lainpun berteriak hal yang senada agar jangan mau diajak Pak Rendra keluar rumah, apalagi mengarah ke Hotel Sarina. Ningsih hanya berjalan dengan cepat tanpa mendegar ucapan kami, lalu masuk ke kamarnya.

Tiba-tiba Pak Rendra menghampiri kamar Ningsih dan berbicara dari balik pintu kamar tersebut “Ningsih…, Om mau mengajak kamu main ke tempat kerja Om malam ini. Jadi pakai pakaian yang agak bagus ya?”

“Kemana Om?” jawab Ningsih dari balik kamarnya.

“Ke Hotel Sarina. Disana malam ini ada pesta yang diadakan oleh Hotel Sarina. Jadi saat Om tugas, kamu bisa bermain sambil melihat-lihat Hotel Sarina dan menikmati makan malam” jawab Pak Rendra dengan manisnya.

“Iya Om, main ke hotel? Ningsih mau Om. Lagian Ningsih belum pernah melihat-lihat hotel dan kota Bandung pada malam hari!”

Kami hanya berteriak panik dari dapur agar Ningsih tidak mendengar bujuk rayu Pak Rendra. Aku samakin panik dan tak tahu harus berbuat apa-apa. Lima menit kemudian Ningsih keluar dari kamar dengan Anggunnya. Menawan sekali baju yang dikenakannya hari ini, serasi dengan rok putih yang agak mengembang. Aku setengah mati berpikir apa yang harus kulakukan pada Ningsih. Suaraku semakin serak berteriak, agar Ningsih tidak mendengar perkataan Pak Rendra yang sudah dimasuki entah iblis mana, yang sudah dirasuki oleh kebodohan dan ketamakan dunia ini. Aku kesal dan ingin menghajar Pak Rendra sampai pingsan. Dia lebih jahat daripada Pak Bondes yang menjadi keluarga paling kami takuti di bangsa gelas. Kok bisa dan tega-teganya menjual harga diri seorang anak yang masih keponakannya. Kawan-kawan yang lain masih terus berteriak dengan kerasnya. Lalu mereka siap-siap berangkat.

Aku melihat Pak Rendra dengan seragam satpamnya sedang mengenakan sepatu di ruang tengah, sambil melihat kearah jam yang sudah hampir Pukul 07.00 malam. Pak Rendra masih menunggu Ningsih yang masuk lagi untuk berkaca dikamarnya, seakan-akan ia akan datang ke istana dan akan bertemu dengan sang pangeran.

“Ah…Ningsihku sayang, kamu tidak perlu berdandan secantik itu?” sahutku dalam hati. “Kamu hanya akan dijadikan sebagai pemuas nafsu lelaki hidung belang, yang sudah entah berapa orang dibuatnya menderita.

“Om…! Ningsih bawa tas ya?. Mau bawa minum dibotol aqua buat persiapan disana” ungkap Ningsih dengan polosnya. Aku hanya melihat kata-kata itu keluar dari bibirnya yang menawan. Tak sempat aku melihatnya mengisi botol aqua, aku langsung dimasukkannya ke dalam tasnya yang transparan.

Kudengar teriakan teman-teman dengan paras berharap, diselimuti ketegangan:
“Dewiiin…!!!, kamu harus selamatkan Ningsih, bagaimanapun caranya. Kami percaya padamu Win!. Kalau nanti ibu pulang, kami akan berusaha menceritakan kejadian ini. Tapi, kami hanya berharap padamu!”

Dedi berteriak dengan lantang “Kamu harus bisa selamatkan Ningsih! Bukankah dia kekasihmu. Pokoknya kami bangsa gelas akan mendukung hubunganmu dengan Ningsih, jika kamu bisa selamatkan dia. Jadilah pahlawan bagi bangsa gelas, yang mampu menyelamatkan Ningsih dari kebiadaban manusia-manusia bodoh ini. Kamu harus buktikan bahwa kita lebih beradab dari manusia. Kamu harus bisa buktikan, bahwa kita lebih berprikemanusiaan dari mereka, sehingga harkat dan martabat kita dapat disamakan dengan manusia yang mengaku mahluk paling pintar dan beradab di dunia ini!”

Aku hanya mendengar kata-kata semangat mereka, tanpa tahu harus melakukan apa dengan keselamatan Ningsih. Aku hanya bertekad sampai titik penghabisan hidupku, aku akan berjuang untuk selamatkan Ningsih, pujaan hatiku. Aku tidak akan membiarkan lelaki biadab manapun yang akan mengambil kesuciannya.

Aku melihat dari balik tas Ningsih sepanjang perjalanan ke Hotel Sarina. Bagaimana wajah lugu tersebut sebenarnya sedang dibawa kedalam jurang kehancuran. Jurang yang akan membuat hidupnya hancur. Setelah sampai di hotel, Pak Rendra mangantar Ningsih ke pesta yang ada di ruang aula hotel. Membiarkan dia makan sepuasnya disana.
Pukul 09.05 malam, Ningsih yang sudah mulai bosan berputar-putar di sekitar hotel, tiba-tiba dipanggil Pak Rendra.“Ningsih.., sini!” sambil melambaikan tangannya tanpa muka berdosa. Pak Rendra menemuinya sambil merangkul pundak Ningsih dengan kasih. “Om punya kenalan seorang bos yang ingin bicara denganmu tentang pekerjaan. Nanti kamu tanyakan saja, pekerjaan apa yang cocok untukmu?”

“Pekerjaan?” Pikir Ningsih dengan wajah bertanya-tanya. “Pekerjaan apa Om?” sahut anak itu dengan polos, tapi Pak Rendra hanya mengajaknya berjalan.
Mereka sempat berbincang-bincang di Lobby hotel dengan pria yang baru dikenalnya. Lalu Ningsih diajak berjalan kearah kamarnya No. 309 sambil diiringi oleh Pak Rendra yang berjalan di belakang mereka, sampai Pak Rendra meninggalkan mereka berdua di kamar hotel terebut. Ningsih mulai bingung dan ketakutan saat Pak Rendra meninggalkannya dengan pria tersebut. Tapi, dia percaya pada Om nya yang telah mengenalkannya dengan pria bertampang ganteng dengan tubuh yang atletis. Saat itu Ningsih hanya disuguhi minuman. Sambil menebarkan senyum yang begitu hangat, pria tersebut menatap tajam mengarah pada tubuh Ningsih. Ningsih semakin kaku dan tidak tahu harus bagaimana menanggapi sikap pria yang belum dikenalnya tersebut.

Aku hanya melihat perbincangan mereka dari dalam tas Ningsih dengan hati yang gundah, sambil berharap apa yang didengar Benny adalah salah. Tapi tiba-tiba pria itu memeluk dan mengangkat tubuh Ningsih ke atas ranjang sambil menciuminya. Aku sangat panik dan tidak tahu harus melakukan apa, selain berusaha untuk keluar dari tas Ningsih. Saat Ningsih masih meronta dan ketakutan atas perbuatan pria itu, ia tiba-tiba teriak dengan suara yang sangat keras.

“Kamu teriak sekeras-kerasnya juga, tidak akan ada yang mendengarnya. Aku sengaja memilih kamar yang aman setiap kali berhubungan dengan gadis perawan yang biasanya sok melawan. Kamu nikmati saja, nanti juga kamu akan suka seperti gadis-gadis lain dan pasti dapat bayaran yang besar dariku” sahut pria itu dengan dingin, seakan dia sudah sering menghadapi gadis-gadis belia seperti Ningsih. “Apa permintaanmu, pasti aku kasih selama itu bisa kupenuhi?” ungkap pria itu dengan wajah tanpa bersalah.
“Dasar sakit jiwaaa…!” sahutku dengan keras seakan aku ingin memukul tepat di mukanya yang menyebalkan itu. “aku pasti bisa menolongmu Ningsih” ujarku dalam hati. Ningsih hanya meronta dan menangis saat bajunya sudah mulai dibuka oleh pria itu.
Lalu, sambil menangis ia minta ijin ingin ke toilet. Ia sadar tidak dapat lepas dari cengkraman pria itu. Ia sadar, tidak akan bisa bebas dari kamar yang menyesakkan itu. Sambil membawa tas, ia hanya terdiam menangis sambil bercermin di kaca toilet. Ia menyesal akan hidup ini, ia menyesal datang ke Bandung, terlebih ia sangat kesal kepada Pak Rendra yang belum bisa masuk akalnya, bahwa Om Rendra tega menjerumuskannya ke lubang maksiat, lubang neraka.

Ningsih hanya berkaca di toilet, sampai akhirnya Ningsih melihat botol pembersih lantai di sudut toilet tersebut. Ia tetap menangis ketakutan, lalu mengeluarkanku dari tas dan menuangkan cairan tersebut.
“Kamu harus teriak Ningsih atau hajar saja mukanya dengan kayu atau apapun yang kamu lihat di dekatnya. Kamu pasti selamat, aku akan menolongmu!” sahutku dengan cemas, saat cairan itu sudah mulai dituangkan dalam tubuhku. “Bunuh diri bukan solusi de..?” Teriakku dengan sekeras-kerasnya, tapi Ningsih tidak pernah mendengar teriakkanku.

Saat tegukan pertama, aku hanya meneteskan airmata, melihat bagaimana pujaan hatiku akan mati dengan cairan yang diminum dari tubuhku. Tiba-tiba pria itu masuk dan mengangkat Ningsih, tanpa sempat melanjutkan tegukkan berikutnya. Aku hanya melihat Ningsih meronta saat pria itu mengangkatnya keluar dari kamar mandi. Dan, tiba-tiba Ningsih mengayunkan tubuhku yang masih dipegangnya dengan sekuat tenaganya, tepat mengarah ke kepala pria tersebut. Aku merasakan inilah saat yang tepat mengerahkan tenaga penghabisan demi Ningsih. Aku arahkan tendanganku tepat pada mukanya, saat hempasan tangan Ningsih semakin mendekat dengan cepat terhadap muka pria tersebut, hingga tiba-tiba “Praanngg…”

Aku terlepas dari pengangan Ningsih. Ah… Aku merasa dunia berputar dan gelap, sesaat setelah tubuhku menabrak kepala pria tersebut, seperti menabrak tembok beton. Aku mulai merasakan ada yang tidak beres dengan tubuhku, sambil menyaksikan darah mengalir dari pelipis mata pria tersebut. Sesaat, setelah beberapa detik berlalu, aku menyadari kaki kananku telah patah, aku mulai merasakan tulang igaku remuk dan kedua tangan yang terlepas dari setiap engsel tubuhku, terpecah-pecah tepat di depan televisi yang menghadap ke tempat tidur Ningsih dihempaskan. Aku merasakan sakit yang tidak tertahankan, saat tubuh ini terpecah-pecah berserakan diantara perabotan mewah yang ada di hotel ini. Aku sekarat dan mulai susah hanya untuk sekedar bernafas.

Aku hanya melihat di akhir nafas hidupku, bagaimana pria itu memaksa tubuh mungil Ningsih yang meronta-ronta untuk melayani nafsu bejatnya.
“Duhai hidup yang menyakitkan…! Apakah aku memejamkan mata diakhir hidupku, dengan melihat orang yang kukasihi sedang butuh pertolongan untuk mempertahankan kesuciannya? Sedang butuh pertolongan untuk harga dirinya, butuh pertolongan untuk lepas dari lelaki biadab.”

“Ah… andaikanpun aku mati dengan tubuh yang terpecah-belah ini, aku rela. Tapi, aku tidak ingin Tuhan…!, aku tidak ingin mati dengan ketidaktenangan yang menyesakkan, dengan melihat orang yang paling kukasihi sedang mengerahkan kekuatannya dibalik ketidakberdayaannya untuk lepas dari lelaki yang akan merenggut mahkota kesuciannya!”

“Tuhan tunjukkanlah kekuatan-Mu, kirimkanlah malaikat kecil-Mu untuk membantu Ningsih!” Semakin Dewin melihat ketidakberdayaan Ningsih dalam keadaannya yang sekarat tak berdaya, ia berteriak sekuat tenaga; “Tuhaannn …Tolonglah Ningsih!”
Dengan tubuh yang terpecah belah tanpa bisa berbuat apa-apa, Lirihnya dalam hati dengan kondisi sekarat. “Ah…Sungguh pahit apa yang kualami kini. I Love You Ningsih…!”

Sampai akhir ajal menjemput Dewin, ia tidak dapat menolong Ningsih. Dewin melihat bagaimana Ningsih terus meronta-ronta dengan kekuatannya, sampai akhirnya menutup mata di penghujung hidupnya.

Waktu tepat Pukul 02.00 pagi, Pak Rendra mengetuk pintu kamar No. 309 sambil merangkul Ningsih yang terus menangis. “Thanks Pak Rendra!” Sahut pria tersebut sambil menyelipkan amplop yang tebal ketangan Pak Rendra.

Pak Rendra dengan wajah tanpa dosa membawa Ningsih pulang. Dengan dingin ia mengancam, agar Ningsih tidak cerita kepada siapa-siapa atas kejadian tersebut, termasuk kepada Mbak Dewi apalagi kepada keluarganya di Kendari. Pak Rendra memintanya untuk berhenti menangis dan menyeka air matanya.

“Bilang saja ke Mbak Dewi, kamu hanya saya ajak melihat-lihat hotel dan makan di pesta tadi” sahutnya dengan lembut. Tapi Ningsih tak menjawab sepatah kata pun sambil menyeka air matanya yang terus mengalir. Mbak Dewi tidak curiga sedikitpun saat mereka tiba di rumah, karena Pak Rendra sebelumnya sudah memberi pesan melalui SMS, membawa Ningsih ke tempat kerjanya. Ia hanya membukakan pintu, berbincang sebentar sambil menahan kantuknya, lalu masuk ke kamar melanjutkan tidurnya.

Malam itu, Ningsih hanya menangis. Lalu, Keesokan harinya, Ningsih meminta kepada Mbak Dewi agar ia pulang ke Kendari. Tapi, Mbak Dewi hanya bertanya kenapa tiba-tiba Ningsih ingin pulang kampung. Mbak Dewi terus mencecarnya dengan pertanyaan sampai akhirnya Ningsih menangis dan meminta dengan sangat.
“Mbak, Ningsih ingin pulang ke Kendari, Ningsih sudah rindu dengan keluarga” sahutnya sambil menangis ketakutan. Mbak Dewi mulai bertanya-tanya dalam hati sambil menatap Pak Rendra dengan tatapan curiga.

Justru Pak Rendra bertanya dengan lembut kepada Ningsih. “Kamu tidak betah ya tinggal disini atau kamu sudah bosan tinggal dirumah Om? Kalau tidak betah, bilang saja Sih, biar kita ngerti apa solusinya. Atau Ningsih sudah kengen pada keluarga di Kendari ya?”

Ningsih hanya menangis tersedu-sedu, lalu Mbak Dewi memeluknya dengan penuh kehangatan kasih. Namun, Ningsih semakin menangis. Tangan lembut Mbak Dewi membawanya terhanyut akan kasih seorang ibu untuk sekedar berbagi beban yang dialaminya. Ia hanya teringat kejadian semalam, sisi gelap hidupnya yang tak akan pernah dilupakannya. Ia tidak ingin berada di tengah-tengah keluarga yang berhati dingin seperti Pak Rendra, yang tega menjual dan menghancurkan masa depannya.
Dengan tangis yang tersedu-sedu, Ningsih hanya berkilah tanpa dapat mengucapkan keluh kesahnya: “Aku rindu keluargaku Mbak..! Ningsih ingin secepatnya pulang ke kendari. Ningsih ingin tetap tinggal di Kendari…!”

Mbak Dewi terus menenangkannya dengan penuh tanda tanya besar, sambil sesekali menatap ke arah Pak Rendra. Ia bertanya dengan sikap Ningsih yang tiba-tiba berubah, bertanya dalam hati, apa yang terjadi dengan Ningsih setelah pulang dari hotel tadi malam.

Tapi Pak Rendra meyakinkan Mbak Dewi, bahwa Ningsih masih kecil dan belum bisa jauh dari orangtua dan keluarganya.

“Biar saja Ningsih pulang Bu, ia masih terlalu kecil untuk lepas dari keluarganya!” sahut Pak Rendra sambil menghisap rokoknya dengan tenang.
Mbak Dewi hanya menggerutu sambil mengernyitkan dahinya “Tapi darimana duit kita Mas untuk mengantar Ningsih ke Kendari? Kendari itu tidak dekat lho Mas dan dibutuhkan dana besar untuk kesana?”

“Kalian naik pesawat saja kesana, pakai saja dulu uang bonus dari kantor yang baru dikasih oleh bosku kemarin” sahut Pak Rendra seakan-akan tidak pernah melakukan kebodohan dan kesalahan besar terhadap hidup Ningsih.

Lama berbincang-bincang, Pak Rendra mengusulkan naik pesawat saja dari Jakarta ke Kendari. Lalu, ia memberikan uang sebesar 5 juta pada Mbak Dewi, tanpa pernah memberikan uang pada Ningsih dari pria bejat tersebut.

Keesokan harinya, Mbak Dewi masih terus bertanya pada Ningsih, saat mereka membeli oleh-oleh khas Bandung. Esok lusanya, Mbak Dewi coba meyakinkan keraguan dan tanda tanya yang besar dalam hatinya sambil mengantarnya ke Kota Kendari, saat menunggu Bus di BSM dan saat berbincang-bincang setelah sampai di Bandara Soekarno Hatta. Ningsih hanya menjawab sekenanya saja atas pertanyaan Mbak Dewi tanpa pernah menceritakan kejadian apa yang pernah terjadi atas hidupnya saat dibawa Pak Rendra ke Hotel Sarina.

Tiga hari sudah Ningsih tiba di rumahnya, di Kota Kendari. Ayu hanya mendengar dari balik jendala tangis sedih Ningsih dengan penyesalan mendalam. Sungguh…tidak mudah apa yang dihadapi Ningsih saat ini. Sejak kehadirannya di rumah tersebut, Ayu, adik Dewin, melihat ada perubahan di hidup Ningsih. Entah apa yang dialami Ningsih, Ayu tidak tahu, tapi yang pasti dia merasakan ada beban berat, pukulan yang menyakitkan atas hidupnya selama sebulan di Bandung. Ayu hanya menanti-nanti kehadiran kakaknya, Dewin, agar segera di keluarkan dari tas Ningsih. Sudah hampir satu minggu, Ningsih hanya menangis setiap malam dikamarnya dan berubah menjadi pendiam tanpa pernah mengeluarkan Dewin. Meski gelas-gelas di dapur terus memperbincangkan Ningsih, tapi tidak satu gelaspun, bahkan tidak satu orangpun tahu apa yang telah terjadi dengan Ningsih.

Ayu tidak tahu, jauh di kota Bandung sana, Dewin, kakak kesayangannya, sudah terpecah-belah meregang nyawa, sudah ada di tempat sampah hotel mewah yang telah dibersihkan oleh petugas-petugas hotel dan entah sudah diteruskan ke TPA mana. Ayu tidak tahu bahwa kakaknya, Dewin, sudah mati dengan tragis, tragis bukan hanya pecah dan terbelah-belah, tapi tragis karena di akhir hidupnya, ia tidak dapat menolong pujaan hatinya, menolong orang yang sangat dikasihinya. Dalam kesendiriannya, Ayu hanya berdoa untuk kakaknya, Dewin, berdoa untuk orang-orang yang dikasihinya dan berdoa untuk Ningsih, yang telah kembali ke Kota Kendari…



Bandung , 14 Feb ’08
Saat-saat mengisi waktu luang dikantorku. Coba menuangkan khayalan kedalam tulisan,
Bagaimana indahnya cinta dan sakitnya perpisahan dengan orang yang kita kasihi.
Dewinson H. A