Raja Semut Hitam

Bahagia Tanpamu

Bahagia Tanpamu
Sukacita Panen Rumput Laut

Jumat, 12 Februari 2010

Belum kutemukan sampai menjelang hari Valentine ini


“Mencari jalan Pahlawan di kotamu, untuk mengembalikan coklat pemberianmu”


Aku hanya punya waktu singkat, mungkin hanya seminggu di kota ini.

Ah, entah kenapa aku bertindak nekat untuk pergi ke kota ini. Ini semua gara-gara coklat. Iya, coklat. Entah kenapa, kekuatan coklat ini bisa membawaku ke kota ini. Sejak aku membuka laci lemari bajuku dan melihat coklat ini, aku hanya mengingat orang yg memberikannya padaku.

Keesokan harinya aku melihat berita-berita tentang kota itu dari televisi. Lalu, datanglah tetanggaku, seorang sahabat yg baru saja meninggalkan kota itu dengan wajahnya yg sangat panic. Aku menanyakan kepadanya tentang keadaan kota itu, tentang keadaan orang-orang yg terluput dari kejadian yg menggemparkan kota itu.

Katanya kepadaku “ Orang-orang masih sangat banyak yang tertimbun reruntuhan, banyak yang terjepit diantara bangunan-bangunan kokoh yg rubuh dan sebagian besar masih hidup dan ditolong oleh regu-regu penolong, agar bisa selamat “

Ketika kudengar kabar itu dan kulihat berita-berita mengenai kota itu, aku hanya duduk dan berkabung sambil bertanya-tanya “Bagaimanakah keadaanmu?” Sangat sulit untuk menjalin komunikasi yang jaringannya terputus oleh kejadian tersebut. Dan, ahirnya aku sampai ke kota ini.

Ah, niatku sebenarnya kurang tulus dengan ikut Tim Penanganan Bencana ke kota ini. Ada yang lebih dari sekedar untuk menolong korban, kehadiranku datang ke kota ini. Tapi, aku sudah di sini, di kota ini yang tentunya harus mengikuti arahan dari ketua Tim Penanganan Bencana, sehingga tidak sesuka hatiku untuk berkeliling-keliling melihat keadaan kota ini. Sampai suatu waktu, pada hari terakhir aku di kota ini, aku berkeliling karena kelonggaran waktu yg diberikan pada setiap anggota tim.

Aku tidak tahu kota ini, aku juga tidak tahu jalan-jalan di kota ini tapi, aku tahu alamat rumahmu. Aku berjalan, sampai akhirnya aku temukan rumahmu yang masih berdiri kokoh, tepat hanya beberapa rumah di samping posko bantuan yang agak besar untuk korban di kotamu. Meski hatiku masih bertanya-tanya tentang keadaanmu karena, bukan rumahmulah yang ku khawatirkan, karena bukan melihat keadaan rumahmulah tujuanku bisa di kota ini. Aku ingin masuk kerumahmu tapi, akan terlalu lancang untuk masuk kerumahmu dan belum tentu juga ingatan ku benar tentang alamat rumahmu, yang pernah kau ucapkan padaku.

Ah…dari cerita yang kudengar darimu, pastilah ini rumahmu tapi, begitu banyaknyalah jalan yang sama di setiap kota. Bahkan di kotaku, entah berapa banyak nama jalan seperti jalan Jend. Sudirman, Jalan Jend. Ahmad Yani atau nama jalan dengan memakai nama-nama pahlawan lainnya. Mungkin juga nama pahlawan jalan rumahmu ada puluhan di kotamu.

“Ah…sudahlah”. Sahutku dalam hati. Memang tujuan utamaku ke kota ini hanya untuk melihat keadaanmu, hanya untuk mengetahui kondisimu, apakah kau terluput dari bencana di kota ini atau tidak ? Meski, tujuan muliaku adalah menolong para korban. Pikirankupun bekerja sambil berbicara dengan hatiku “Ah, tidak mungkin setelah aku melakukan pekerjaan baik, Tuhan tidak akan mempertemukan kita ?”

Aku berhenti sejenak sambil mengingat alamat rumahmu diantara banyaknya jalan nama pahlawan nasional di bangsa ini, yang pasti aku tidak lupa dengan nomor rumahmu. Tiba-tiba, aku melihat wajahmu, yang masih persis sama sejak kita berpisah. Aku bingung, entah karena kaget atau karena sukacita. Yang pasti aku tidak tahu mau berbuat apa, saat melihat kau sedang berjalan di dekat rumah yang memang sudah kuduga adalah rumahmu. Aku ternyata tidak salah ingat dengan alamat yang pernah kau ucapkan. Kau berdiri diantara keluargamu yang memang sudah kukenal, sedang berbincang dengan seriusnya. Entah apa yang sedang kalian perbincangkan atau mungkin juga kalian sedang mencari sesuatu atau mungkinkah sedang membicarakan nasib orang-orang ?

Aku tidak tahu pasti, meski aku bisa memastikan, bahwa kalian sedang tidak memperbincangkan diriku. Ah…tapi yang sangat pasti, aku sangat senang dan bahagia melihat keadaanmu baik-baik saja. Yah, keadaanmu dan keluargamu tentunya.

Sampai akhirnya kalian sekeluarga pergi entah kemana dengan mobil hitam tersebut, aku hanya terdiam. Terdiam karena sebenarnya tidak tahu apa yang harus ku lakukan. Belum tentu juga kau akan senang, andaikan aku menemuimu, seiring keputusanmu yang sebenarnya sangat kusesalkan.

“Ah… sudahlah” sahutku dalam hati. Tujuanku hanya ingin melihat keadaanmu, apakah engkau terluput dari bencana kota ini. Tujuanku bukanlah ingin berbincang-bincang denganmu atau merajut kembali kisah yang telah usai, sekalipun masih ada sedikit kerinduan, itu terjadi. Tapi, terlebih lagi, tujuan muliaku hanya ingin menolong korban yang sedang dalam sulitnya.

Lalu, kuambil coklat berbentuk love yang melekat pada tangkainya dari ranselku, yang sengaja kubawa dari kotaku. Kutatap dan kuamati, sambil mengenang kejadian saat kau memberikannya kepadaku. Entah apa kekuatan yang tersimpan dalam coklat tersebut, sampai aku bisa memberanikan diri untuk bergabung dengan Tim Penanganan Bencana agar sampai ke kota ini. Aku lihat dan segera ku lemparkan coklat tersebut ke atap rumahmu. Kalau kau tiba-tiba menemukan coklat itu, kau pasti tidak asing akan benda berbentuk love tersebut. Aku masih ingat saat kau memberikannya tepat di hari Valentine tapi, aku lupa tahun berapa. Mungkin 6 atau 7 tahun yang lalu. Kau pasti belum tahu alasan mengapa aku tidak pernah memakan coklat pemberianmu itu, sekalipun sudah beberapa kali kau sarankan. Bahkan kau tahu betul dimana kusimpan coklat tersebut.

Ah…tidak perlu ku ungkapkan alasannya apa ? Kau pun tidak sedang di hadapanku saat ini. Dan tidak mungkin juga pagarmu atau tanaman yang ada di halamanmu bisa menyampaikannya padamu. Semoga kau bisa melihat coklat love pemberianmu dulu kepadaku. Kalau kau menemukannya, aku hanya mengucapkan “Happy Valentine Day”.

“Ah…lebih baik aku kembali ke pos kami” sahutku dalam hati. Sambil berjalan menuju posko kami, aku hanya menatap orang-orang dengan muka-muka muram yang sedang lalu lalang dijalanan kota ini, yang mungkin berkabung karena telah kehilangan sanak saudaranya atau kerabatnya atau harta bendanya. Mungkin juga mereka berpikiran sama terhadapku, saat mereka melihat sinar wajahku yang muram, tapi aku tidak sedang kehilangan saudara, aku tidak sedang kehilangan kerabat atau harta benda, sobat. Tapi, aku sedang kehilangan cinta yang belum kutemukan sampai menjelang hari Valentine ini.


Bandung, 12 Februari 2010

“Saat-saat terus mencoba berkarya, sambil mengingat keindahan hari Kasih Sayang. Aku tidak sedang mengingatmu, aku tidak sedang menginginkan coklat darimu, tapi aku sedang bersukacita karena ada diantara sahabat-sahabat, untuk membagikan kasih serta coklat di hari Valentine ini kepada adik-adik kita“

Dewinson Aritonang