Raja Semut Hitam

Bahagia Tanpamu

Bahagia Tanpamu
Sukacita Panen Rumput Laut

Jumat, 29 Januari 2010

Ningsih Ingin Tetap Tinggal Di Kendari


Cinta Dalam Hati Saja


Kendari, 16 Juni 2007
Memang aku tidak tahu lagi dimana orangtuaku keberadaannya sekarang. Tapi, aku sudah lama berada di Kota Kendari, tepatnya di sebelah Timur Kota Kendari. Nama desa ini Toronipa, dengan garis pantainya yang panjang dan sangat indah. Sudah terbiasa sejak kecil melayani keluarga Ningsih, mulai dari sarapan pagi, makan siang dan makan malam. Aku punya adik kembaran, namanya Ayu. Ya, dia memang sangat ayu dan kami memiliki perawakan yang lebih besar dan menarik dari pelayan-pelayan yang lain.

Melayani keluarga ini memang sangat menyenangkan dan selalu ceria. Hal yang paling menyenangkan adalah saat melayani keluarga ini makan malam. Karena selain menyenangkan, setelah makan malam saya sering dibawa untuk sekedar duduk-duduk di depan beranda rumah yang mengarah ke pantai, sebelum Pak Rono berangkat berlayar untuk menangkap ikan ke laut.

Dari cerita yang kudengar, sudah lama keluarga Pak Rono merantau dari pulau Jawa ke Sulawesi Tenggara, mereka dulu tinggal di Kendari, iya Kota KENDARI, dengan sejuta pesonanya! Bahkan, mereka sudah ada disini, sejak Kakek Ningsih masih harus mengantar Pak Rono berangkat sekolah ke SD dekat gereja GPDI di kota lama. Tapi, akhir-akhir ini sering terjadi keributan dalam keluarga mereka, sejak perahu nelayan Pak Rono dicuri orang. Pak Rono yang tidak bisa menangkap ikan, membuat perekonomian keluarga semakin carut marut. Sudah hampir 3 bulan Pak Rono hanya memancing ikan sekedar untuk lauk pauk keluarga tersebut, sehingga membuat Ningsih terpaksa keluar sekolah. Aku tidak bisa membantu keluarga ini selain berdoa agar perahu nelayan Pak Rono dikembalikan oleh orang-orang tak bertanggungjawab tersebut.

Beberapa hari kemudian kami sibuk melayani tamu-tamu yang datang dari Bandung. Sampai-sampai tidak ada waktu istirahat. Wah… pokoknya capek banget deh! Tamu kami rupanya adik kandung Pak Rono yang sedang main ke tampat kelahirannya sambil ingin berziarah ke makam orangtua mereka yang sudah meninggal 7 tahun yang lalu. Mereka hanya tiga hari di desa ini dan besok lusa akan pulang. Hari ini malam terakhir sebelum mereka pulang besok sore.

Setelah makan malam, keluarga tersebut berbincang-bincang di teras depan rumah. Angin malam ini sangat kencang, sehingga gemuruh ombak sangat jelas terdengar, namun tidak menyurutkan mereka untuk terus berbincang-bincang. Mereka bercerita tentang banyak hal, mulai dari bisnis, keadaan di Bandung dan sampai cerita hilangnya perahu Pak Rono. Pak Rono mengisahkan kondisi perekonomian keluarga mereka sejak hilangnya perahu tersebut. Setelah lama berbincang, Pak Rono mengutarakan keinginannya kepada adiknya Dewi untuk meminjamkan uang guna membeli perahu nelayan. Tapi, rupanya keluarga Mbak Dewi tidak memiliki uang sebanyak yang diutarakan Pak Rono. Setelah lama berbincang-bincang akhirnya Pak Rono meminta agar Mbak Dewi dan suaminya mengajak Ningsih ke Bandung, supaya bekerja disana. Aku sangat terkejut mendengar keinginan keluarga Pak Rono, terlebih karena Ningsih masih berumur 13 tahunan.
“Ah …, inilah kehidupan yang selalu menyisakan drama perpisahan!” gumulku dalam hati. Ningsih hanya terdiam saat mendengar maksud keluarganya tersebut. Bu Rono juga terdiam sambil memandang Pak Rono heran dengan tatapan kurang setuju atas keinginannya tersebut.

Saat mereka sudah berada di kamar tidurnya seusai perbincangan malam itu dengan keluarga Mbak Dewi, Bu Rono berdiskusi dengan memohon kepada Pak Rono;
“Pak, apa tidak sebaiknya Ningsih tetap di Kendari dulu? Anak kita masih kecil toh Pak! Ibu tidak bisa melepaskan Ningsih ke Bandung apalagi harus kerja di usia dini?”
“Bapak ngerti Bu! Tapi, apa ibu tidak malu dilihat tetangga kalau anak kita tidak sekolah? Biarlah Ningsih ikut ke Bandung, dia di sana bisa kerja atau kalau Mbak Dewi hatinya tergerak, mereka juga akan menyekolahkan Ningsih.” Sahut Pak Rono dengan tegas. Bu Rono hanya terdiam seakan menghindari pertengkaran yang mulai sering terjadi di keluarga tersebut akhir-akhir ini. Ia belum siap melepas anaknya dari hadapannya. Bu Rono hanya berpikir tentang Ningsih yang masih kecil, yang masih usia bermain dengan teman-teman sebayanya sekalipun ia tidak sekolah. Aku hanya melihat raut muka Bu Rono saat berjalan ke dapur. Tidak seceria seperti biasanya. Aku hanya melihat raut muka yang menanggung beban berat. Aku hanya berharap dari perbincangan mereka agar Ningsih tidak jadi berangkat ke Bandung, walaupun Pak Rono sudah meminta Ningsih agar membereskan barang-barang yang perlu dibawanya malam itu. Aku sedikit banyak tahu sifat Pak Rono, jika ia sudah memutuskan sesuatu, sulit baginya untuk mengurungkan niat tersebut.

Aku tahu Ningsih sangat berat meninggalkan rumahnya, keluarganya, kedua adiknya dan teman-teman sepermainannya yang selalu bermain bersama di dekat pantai setiap malam, serta semua kenangan indah yang lahir di desa ini. Ningsih sama sekali tidak membereskan barang-barang yang akan dibawanya besok sore. Dia hanya terdiam dikamarnya sambil berbaring dengan wajah kesal atas keputusan keluarganya tersebut, hingga akhirnya aku mendengar suara tangis dari dalam kamarnya yang menyayat malam hari itu. Aku merasakan tangisan itu seakan membantu angin menusuk raga, yang membuatku semakin merasakan dinginnya malam ini.

Aku sebenarnya ingin menghibur Ningsih saat dia menangis di kamarnya malam itu. Aku tahu arti keluarga bagi dia, tapi itulah keputusan terbaik saat ini bagi keluarganya, yang tentu sangat mengasihi dia. Aku hanya mendengar tangis yang terisak-isak itu dari celah jendelanya yang berdekatan dengan dapur tempat mencuci piring. Memang setiap selesai makan malam, disinilah tempatku dengan gelas-gelas dan piring-piring yang lain menunggu giliran dicuci oleh Ningsih esok pagi, sebelum dia berangkat sekolah. Sekarang kami memang tidak pernah lagi dicuci sebelum jam enam pagi, sejak 2 minggu lalu Ningsih secara terpaksa keluar dari sekolahnya.
Aku ingin menenangkan Ningsih, ingin mendengarkan setiap keluhannya yang mungkin tak bisa diungkapkan terhadap kedua orangtuanya atau sekedar berbagi beban agar aku menanggung sebagian beban tersebut. Aku tahu bagaimana beratnya berpisah dengan orang-orang yang kita cintai. Aku hanya ikut merasakan beratnya perih rasa itu, saat mendengar isak tangis Ningsih malam ini.

“Aku pernah mengalami hal seperti ini!” sahutku pada Ningsih. Aku tahu begitu berat saat aku berpisah dengan keluarga besarku diterik matahari siang itu. Aku masih ingat kejadian itu di pasar baru, saat ibu kamu hendak membeli gelas. Aku berusaha menghindar saat ibu kamu memegang kelompok kami yang ada selusin di kardus-kardus. Aku berharap Kak Irwan dan Kak Chandra atau kakak-kakakku yang lain yang dibeli ibumu. Aku sudah berusaha menghindar. Wajahku sudah kubuat cemberut dan ingusku kubiarkan mengalir dari hidungku, supaya tampangku terlihat jelek, agar akhirnya ibumu tak jadi memilihku. Tapi, bangsa kalian tidak dapat melihat mimik dan rupaku yang sudah kubuat tampak jelek!

“Kamu pasti ingat kejadian tersebut!” Sahutku pada Ningsih. Saat itu usiamu masih sekitar 4 tahunan, yang berdiri tepat disamping ibumu saat ia mulai menawar-nawar harga kami, saat menawar apakah bisa hanya membeli 2 gelas saja. Aku semakin kesal. Kok bisa membeli gelas hanya 2 biji saja, Kan biasanya 1 lusin atau setengah lusin? Tapi, ibumu terus menawar agar kami hanya dapat dibeli dua gelas saja.

Kamu tahu, kami berdua adalah anak terkecil di keluarga gelas tersebut! Wajar kalau kami berdua yang paling cengeng, paling takut dan yang selalu memeluk ibu saat tahu bahwa ibumu hanya akan membeli 2 gelas saja. Kalian pasti tahu kalau dibangsa kami kita dikelompokkan jadi keluarga selusin-selusin. Aku hanya berpikir, kok manusia tidak beradap dan tidak memiliki perasaan yang tega-teganya memisahkan keluarga gelas. Aku mulai menangis agar bukan aku yang dibeli sambil berkali-kali meronta-ronta saat ibumu memegang-megangku, Ayu juga masih erat menggenggam tangan ibuku.

Akhirnya ibumu memilihku dan adik kembarku Ayu. Aku menangis dengan kerasnya sambil berteriak-teriak memanggil ibuku. Adikku Ayu juga menangis sekuat-kuatnya saat genggamannya terlepas dari ibuku. Aku melihat bagaimana ibuku meneteskan airmatanya sambil berusaha tetap tegar. Papaku hanya bisa diam, tanpa mengeluarkan sepatah kata-katapun. Bahkan Kak Irwan dan Kak Chandra yang sering memukulku juga terdiam. Aku tahu papaku ingin agar kami dibeli sekeluarga.

“Kamu mungkin tidak ingat bagaimana kejadian tersebut, karena asik menikmati es cream digenggamanmu!” sahutku lagi dengan lembut kepada Ningsih. Usiaku saat itu masih 6 tahun di hitungan bangsa gelas atau sekitar 6 bulanan kalau hitungan usia manusia. Aku masih melihat bagaimana tangis memilukan Kak Mona dan Kak Rina. Aku masih ingat wajah-wajah sedih keluargaku sampai aku dan Ayu dibungkus dengan koran oleh agen, si penjual gelas yang juga bangsa manusia.

Aku cuma mendengar kata-kata ibuku untuk terakhir kalinya dengan nada serak sambil menangis; “Dewin…jaga adikmu Ayu ya baik-baik…! Kamu harus jaga adikmu dan menjadi kakak yang bertanggungjawab. Rajin kerja kalau disuruh majikan dan jangan lupa untuk selalu berdoa dan ajak adikmu Ayu berdoa!.” Aku masih melihat tangisan mereka yang sedang dipukul-pukul si penjual oleh lembaran-lembaran uang dari ibumu yang diyakini sebagai penglaris, sampai akhirnya aku dan Ayu dimasukkan ke keranjang belanja ibumu.

Ah… kejadian itu sangat menyesakkan, memilukan, dan menyakitkan bagiku. Dulu aku juga sangat kesal dan tidak betah tinggal di keluarga ini dan sangat membenci ibumu yang tega-teganya telah memisahkan kami. Tapi, seiring waktu berjalan aku sangat menikmati berada di keluarga ini. Aku sangat mencintai kalian, sekalipun aku masih sering teringat akan keluargaku. Entah dimana sekarang mereka, tapi yang aku tahu Tuhan juga pasti menjagai mereka, pasti sudah berada di keluarga yang baik dan harmonis.

Aku berharap mereka tidak dibeli oleh keluarga seperti Pak Bondes. Keluarga ini sangat tidak harmonis dan kami bangsa gelas serta piringlah yang selalu jadi sasaran dilempar oleh Pak Bondes, sampai akhirnya nyawa gelas-gelas tersebut meregang saat berhamburan terpecah-pecah mengenai lantai dirumahnya. Itu memang cerita yang selalu ada di bangsa gelas, agar tidak dibeli oleh keluarga seperti Pak Bondes yang sering pulang mabuk, yang sering bertengkar, yang sering memukul anak serta istrinya dan melemparkan gelas yang ada didepannya.

“Kamu harus tegar de, menghadapi kehidupan ini!” sahutku pada Ningsih yang masih duduk di kelas 1 SMP. Lalu, Ayu adik kembarku menghampiriku dan merasakan apa yang sedang dialami Ningsih, seakan-akan mengingatkan perpisahan kami dengan kedua orangtua dan kedelapan kakak-kakak kami.

Ayu memelukku sambil meneteskan airmata. Aku tahu apa yang sedang dirasakannya saat ini. Memang sejak perpisahan itu, Ayu berubah menjadi pendiam. Aku selalu berusaha untuk menghibur dia kalau kami sedang tidak bekerja. Kadang aku menyanyi atau menari-nari agar dia terhibur. Saat ini dia sudah dewasa. Ayu yang dulu cengeng sudah mulai tegar dan mengerti tentang cinta, he...he…he…C I N T A … gitu deh! Dan dia sedang gencar-gencarnya mendekati Rendy, adik kandung Ningsih. Memang sudah berkali-kali kuperingatkan agar tidak menaruh hati pada manusia, tapi Rendy sudah menjadi impiannya, pujaannya, SOULMATE dan mimpi terindahnya disetiap saat perbincangan kami. Rendy menjadi penghibur bagi Ayu sejak kami ada dikeluarga ini. Bahkan saat itu kami selalu tertawa bersama kalau melihat Rendy dimandikan di ember mandinya saat masih berusia 2 tahunan.

Mungkin aku gagal mendidik adik kembaranku Ayu, yang suka kepada manusia. Memang dia belum pernah lupa bagaimana pertama kali Rendy minum air susu memakai Ayu saat usianya masih 3 tahunan. Kecupan itulah yang tidak bisa dilupakan adikku Ayu, bagaimana saat bibir merah Rendy mengena dan bersentuhan tepat pada bibir gelas. Kecupan itulah yang tidak bisa Ayu lupakan sampai sekarang. Memang kami berdua jarang dipakai oleh anak-anak Pak Rono, karena kami biasanya hanya dipakai oleh Ayah dan Ibu Rono, mungkin karena ukuran kami yang lebih besar penyebabnya.

Aku juga sebenarnya pernah merasakan sentuhan bibir merah Ningsih saat dia mencoba kopi ayahnya di usia sekitar 8 tahunan. Aku merasakan bagaimana lembutnya bibir merah Ningsih saat menyentuhku. Saat itu serasa berada di langit ketujuh! Dengan nafasnya yang menggetarkan jiwa dan harum semerbak. Aku sangat menikmati kecupan pertama itu sambil berharap agar dia terus meminum kopi bapaknya. Pokoknya sangat berbeda dengan bibir Pak Rono yang hitam, tebal dan kering, apalagi nafasnya sangat bau, bau karena asap rokok dan bau karena jarang sikat gigi. Aku sangat kesal kalau dipakai saat bangun malam hari sebelum berangkat menangkap ikan. Pak Rono langsung minta diseduhkan kopi tanpa sikat gigi dan aku menahan aroma yang sangat tidak mengenakkan.

Ayu tiga hari lalu merasakan kecupan bibir Randy saat dia pulang sekolah. Mungkin karena kecapaian berlari-lari sepulang bermain dipantai selepas sekolah. Randy asal mengambil gelas dan memakai Ayu untuk meneguk air es dari kulkas. Mungkin itulah yang membuat Ayu akhir-akhir ini kasmaran. Aku tidak bosan-bosannya menjelaskan kepada adik tersayangku agar jangan menaruh hati pada manusia, tapi Ayu selalu menjelaskan dengan kata-kata bijaknya, bagaimana garam dilaut dan asam di gunung akhirnya bersatu juga di belanga, bahwa cinta tidak dapat dihalangi oleh siapapun, oleh perbedaan apapun, bahkan tidak bisa dihadang oleh perbedaan warna kulit, ras, suku dan bangsa. Dia selalu percaya bahwa cinta kuat seperti maut, bahkan air deras pun tak dapat memadamkan cinta. Wah…wahh…?? Ah…Entah darimana adikku Ayu belajar kata-kata bijak itu, tapi aku terus menyadarkan dia, bahwa gelas tidak mungkin dapat bersatu dengan manusia.

Setiap kali kami berdebat tentang perbedaan itu, Ayu selalu menjelaskan bahwa segala sesuatunya dapat bersatu dan selalu diakhiri dengan pertengkaran. Semua kata-katanya itu selalu terngiang di telingaku dan selalu berbisik dalam hatiku. Aku sebenarnya bukan tidak menyukai Rendy atau tidak setuju jika dia berhubungan dengan Rendy. Tapi, aku tidak mau adikku Ayu kecewa, aku tidak mau melihat dia bersedih dan patah hati. Aku sangat menyayangi dia, bahkan lebih dari hidupku sendiri, tapi aku belum mampu membuatnya mengerti bahwa mana mungkin gelas dan manusia pacaran, apalagi sampai menikah dan melahirkan anak. “Oh My God…! Dunia sudah mulai gila, gila!” Sahutku dalam hati sambil memegang-megang kepalaku.

Yah…, begitulah Ayu, gelas yang sangat cantik dengan pegangan gelas yang sangat menawan menempel seperti kuping manusia, bahkan menawan hati setiap gelas-gelas pria yang ada dirumah ini. Mungkin akan menawan gelas-gelas yang ada ditempat lain jika mereka pernah bertemu dengan Ayu. Aku sering melihat bagaimana gelas-gelas pria ditempat ini selalu baik terhadap Ayu, selalu mencuri perhatiannya, selalu memberi waktu untuk bermain dengannya, bahkan tidak sedikit yang menjahilinya atau mengganggunya. Tapi, aku selalu menjaganya, aku selalu mengingat pesan ibuku agar selalu menjaga dan bertanggungjawab atasnya.

Aku masih mendengar dari balik jendela bagaimana Ningsih masih tetap menangis terisak-isak. Seakan-akan ini adalah babak akhir dari hidupnya. Aku berusaha melepas pelukkan adikku Ayu dan menyuruhnya tidur. Aku beranjak lebih dekat ke jendela dan melihat airmata terus mengalir dipipi yang hitam manis itu. Aku ingin menghampirinya dan memeluknya.

“Aku tahu dia membutuhkan pelukanku saat ini!” sahutku dalam hati. “Aku tahu, saat ini akulah yang dibutuhkannya, saat ini akulah yang dapat menguatkan dia, saat ini akulah yang paling tepat untuk mendengar dan mengerti apa yang dirasakannya” keluhku dalam hati.

Sampai akhirnya Ningsih mengantuk dan berhenti dari tangisnya sebelum terlelap. Aku masih tetap menatap wajahnya, tubuhnya dan tempat tidurnya dengan sprey warna pink. Entah kenapa, malam itu aku hanya memandangnya dari balik jendela, seakan-akan ada yang hilang dari hidupku yang menyadarkan aku bahwa malam inilah terakhir kali aku melihat Ningsing di rumah ini. Ya...malam ini, menjadi malam terakhir kebersamaan kami.

Aku pasti merindukan sentuhan tangannya memegangku saat pagi hari mencuci seluruh tubuhku. Aku tidak akan merasakan usapannya lagi, saat membilasku dari busa sabun colek ekonomi. Aku merasakan ada suatu yang hilang dari jiwaku menyadari inilah malam terakhir aku bertemu dengan Ningsih. Ah… aku tidak mau jadi gelas gila!” sahutku dalam hati. Apakah aku merasakan cinta terhadap manusia setelah akan berpisah dengannya? Apakah Ningsih juga mengalami hal yang sama, sehingga ia selalu menangis? Mungkinkah dia merasakan getaran hati ini?
Ah…pokoknya aku tidak akan menjadi gelas gila, yang tidak tahu diri kalau mencintai manusia. Aku lebih baik mencintai Reyna, gelas cantik mungil yang sangat lucu dan menggemaskan itu.

Sudah hampir pukul 01.00 pagi, aku terus menatapnya sampai aku tertidur malam itu. Aku terjaga saat Ningsih terbangun dari tidurnya. Ningsih beranjak ke toilet belakang. Saat ia melewati kamar tamu, ia masih mendengar suara suami Mbak Dewi, Pak Rendra, yang sedang berbicara melalui telepon genggamnya. Ningsih hanya mendengar ada barang bagus yang akan dibawanya ke Bandung. Ia tidak menghiraukan percakapan itu. Ia hanya kesal kenapa mereka datang ke desa itu, kenapa mereka berkunjung tepat saat keadaan ekonomi keluarga susah. Ia hanya berpikir bahwa kedatangan merekalah yang menyebabkan ia harus pergi ke Bandung dan meninggalkan keluarga tercintanya.

Pagi harinya, Bu Rono sudah sibuk memasak sambil dibantu oleh Mbak Dewi dan Ningsih. Saat Ningsih mencuci piring dan gelas yang kotor, aku merasa sangat hampa. Ada suatu yang hilang dalam hidupku. Aku merasakan inilah terkahir kalinya aku melihat Ningsih. Airmataku menetes, baru kali ini aku menangis dengan sedihnya sejak berpisah dengan keluargaku. Aku menahan airmata dan kesedihan ini, saat Ayu dan gelas-gelas yang lain menatapku. Aku menikmati usapan terakhir tangan lembut Ningsih ditubuhku, sampai dia menggantungkan kami satu persatu di rak piring.
Entah kenapa, aku mulai merasakan cinta saat akan berpisah. Entah kenapa aku merasakan kehilangan mendalam saat aku tahu Ningsih akan pergi, akan pergi untuk waktu yang tidak pernah ku ketahui. Apalagi bagi bangsa kami sebulan dalam waktu manusia, sama dengan setahun dalam waktu gelas. Aku terus menatap dan memandangi Ayu dengan segala aktivitasnya. Saat ia memetik cabei, saat ia mengupas kentang dan setiap gerak-gerik serta apa saja yang dikerjakannya. Aku melihat wajah yang sedih terpancar diwajahnya, saat ia melewati rak piring. Aku tidak bisa mengungkapkan kesedihan ini, tidak bisa melukiskan perasaan ini. Aku gelisah dan ingin bergegas untuk turut serta ke Bandung.

Saat makan siang, aku berharap untuk terakhir kalinya akulah gelas yang dipakai Ningsih. Tapi, saat gelas sudah mulai diisi air putih, aku tetap disodorkan kehadapan Pak Rono. Aku melihat bagaimana bibir Ningsih saat itu bersentuhan dengan gelas. Dan, mungkin inilah untuk terakhir kalinya aku melihat peristiwa itu. Dia memakai gelas wanita mungil, Reyna. Aku tahu saat ini ada suatu yang aneh dalam hidupku. aku sudah mulai menyukai manusia dan tidak tertarik sama sekali kepada Reyna, gelas pujaanku tesebut.

Aku melihat seraya merasakan saat bibir Ningsih bersentuhan dengan Reyna, seraya merasakan lembutnya sentuhan bibir orang yang paling kucintai saat ini mengecup bibirku. Aku tahu sesaat lagi Ningsih akan pergi ke daerah yang sangat jauh, meski aku tidak tahu sejauh manakah Bandung dari rumah ini. Mungkinkah sejauh pasar tempat aku dibeli, yang harus menaiki angkutan yang sangat lama bagi bangsa kami. Mungkin juga lebih jauh kalau sudah harus menyeberangi laut berhari-hari. Itu sudah berminggu-minggu bagi bangsa kami.

Ah…ternyata kita akan berpisah sangat jauh Ningsih? Kita tidak akan pernah lagi bertemu untuk selamanya! Aku tidak tahu lagi harus berkata apa-apa saat ini, selain menenangkan diriku dengan perasaan cinta yang bergelora! Aku harus menahan hati yang tak menentu ini. Mungkin seperti inilah yang dirasakan Angeli, bagaimana pahitnya perpisahan di flim kesukaan Ningsih –kuch-kuch hota hai-. Aku dengan gelas-gelas lain memang sering ikut menonton dari rak piring, kalau Ningsih menonton DVD di ruang tengah. Kami bahkan pernah menangis bersama saat menonton flim Korea Love Strory In Harvard. Ah, pokoknya seru, walau hanya gelas yang digantung paling sisi kirilah yang dapat melihat TV di ruang tengah keluarga itu.

“Sudah tidak ada lagi yang tertinggal kan?” Tanya Bu Rono pada Mbak Dewi, menyadarkan aku bahwa waktu perpisahan sudah di depan mata. Jantungku berdebar sangat kencang, tapi kadang-kadang lambat hampir tak berdetak. Entah kenapa aku sangat takut akan perpisahan?

“Apakah mungkin aku trauma dengan perpisahan? Sehingga kaki dan tanganku terasa dingin semuanya” Nafasku kutarik dalam-dalam dan tak kusadari aku telah meneteskan airmata.

Ningsih kulihat menangis di pelukan ibunya. Tangannya yang mungil seakan enggan melepaskan pelukan dari tubuh ibunya, yang membuatku semakin terharu.
“Udah, jangan menangis dong sayang, kamu kan akan kerja disana! Nanti, setiap malam mama pasti akan SMS kamu ke Handphone Mbak Dewi!” sahut Bu Rono. Ningsih hanya menganggukkan kepala tanpa mengeluarkan sepatah kata-kata pun.

Sambil melihat mereka bersalaman dalam perpisahan itu, mulutku berkata dengan pelan pada Ningsih. “I love you Ningsih…! Selamat kerja di Bandung ya de…!” Aku hanya berdiri terpaku diantara gelas-gelas lain. Ada yang mendadah Ningsih sambil melambaikan tangannya, ada yang kiss by, ada yang cuek saja dengan keberangkatannya dan aku yang dihinggapi perasaan tak menentu, berusaha untuk menahan tangis dengan menghela nafas panjang.

Di depan teras rumah, Ibu Rono masih terus memeluk Ningsih. Ia pun sebenarnya sangat berat melepas Ningsih berangkat ke kota Bandung. “Kamu tidak bawa gelas sayang, untuk minum di jalan? Atau sudah bisa minum air dengan menenggak dari botol Aqua sekarang?” sahut Bu Rono, saat mereka sedang menunggu PT-PT (angkot).
Dengan nada lirih setengah berbisik, Ningsih menjawab “Nggak usah Bu, nanti pakai sedotan saja minumnya atau beli aqua gelas dijalan!”.

“Sudah, bawa saja satu, manatahu nggak ada sedotan nanti di jalan, kan perjalanan kalian jauh toh! Rendy, ambil satu gelas untuk dibawa kakak!”

Aku terperanjat, seolah ada harapan mengalir dalam tubuhku untuk tetap bersama Ningsih. Randy mengambilku dengan cepat dan berlari ke teras, lalu memasukkanku ke dalam tas Ningsih yang semi transparan. Aku bingung kayak orang bodoh. Antara senang dan haru, bimbang dan ragu bercampur. Lalu aku mengingat Ayu dan langsung melihatnya dari tas Ningsih. Ayu terdiam seakan-akan belum sadar apa sebenarnya yang terjadi dengan aku, apa sebenarnya yang dilakukan Rendy yang tiba-tiba berlari mengambilku lalu memasukkanku ke tas Ningsih.

Aku tidak mungkin meninggalkan Ayu sendiri? Aku tidak dapat berpikir cepat dalam kekalutan. Aku berusaha berteriak menyadari akan berpisah dengan Ayu. Ayu hanya berteriak : “Kak Dewin mau dibawa kemana? Ayu ikut kak! Kakak kan sudah janji tidak akan tinggalin Ayu sendiri. Ayu nggak berani sendirian di sini tanpa kakak! Ayu ikut kak! Kak Dewiiiiin, Ayu ikut! Ayu ikuuut sama kakak!” teriak Ayu sangat keras dengan tangisannya yang menyayat-nyayat hatiku.

Aku bingung…B-I-N-G-U-N-G diantara dua pilihan. Diantara sisi gelap dan terang, diantara senang dan sedih yang mendalam, diantara tawa dan tangis hatiku, diantara kebohongan dan kejujuran pilihanku, diantara kehidupan dan kematian perasaanku. Diantara pilihan yang harus kujalani, tapi kini sedang berada diantara kesuam-suaman perasaan yang tak menentu. Tepat ditengah-tengah pilihan yang sulit. Aku berharap turut serta dengan Ningsih, namun kini aku ingin segera keluar untuk tetap menjaga adikku Ayu. Aku tidak bisa berada dalam kesenangan hati dengan melihat Ayu menderita dalam kesedihan. Aku tidak mungkin tertawa diantara tangisnya, aku tidak mungkin bohong dalam kejujuran hidup ini. Aku tidak mungkin ingkar pada pesan mama dengan meninggalkan Ayu.

Aku ingin turun hanya sekedar mengucapkan berpisah dan memeluk adikku Ayu sambil menebarkan hangat kasihku! Cinta dan kasihku sepenuhnya tetap untukmu de, meski kini sedang bertumbuh mekar tak terbendung untuk Ningsih.
“Maafkan aku de, tidak menepati janjiku untuk selalu menjagamu, maafkan aku ibu, meninggalkan Ayu sendirian!” Mungkin inilah yang dimaksud oleh Pengkotbah, seperti yang pernah kudengar saat Bu Rono sedang membaca Alkitab setiap kali ia bangun pagi!”

Untuk segala sesuatu ada masanya, untuk apapun di bawah langit ada waktunya. Ada waktu untuk lahir, ada waktu untuk meninggal, ada waktu untuk menanam, ada waktu untuk mencabut yang ditanam….; Ada waktu untuk merombak, ada waktu untuk membangun; Ada waktu untuk menangis, ada waktu untuk tertawa; ada waktu untuk meratap, ada waktu untuk menari…; ada waktu untuk memeluk, ada waktu untuk menahan diri dari memeluk…; Ada waktu untuk berdiam diri, ada waktu untuk berbicara. Ia membuat segala sesuatu indah pada waktunya, bahkan Ia memberi kekekalan dalam hati mereka…

“Ada waktunya kita berpisah de…!” Sahutku pada adikku Ayu dari balik tas Ningsih, walaupun aku yakin suaraku tidak akan terdengar lagi oleh Ayu.
Sementara gelas-gelas lain coba menghampiri Ayu sekedar untuk menghibur dan mengucapkan kata-kata bijak. “Tenang saja Ayu, kita akan ada disini menemanimu. Kita pasti akan selalu menjaga kamu!” Ayu kecil hanya terdiam tanpa mengucapkan sepatah katapun. Bahkan, ada gelas-gelas pria yang membuat moment itu untuk bisa dekat dengan Ayu dan sengaja memberi simpati serta penghiburan untuk mendapatkan hati Ayu. Ayu hanya mengingat janji kakaknya, Dewin, yang akan membelikan coklat di hari valentine minggu depan. Dia hanya ingat janji kakaknya yang akan selalu menemaninya nonton TV, saat Ibu Rono menyaksikan ‘Mamamia’ di ruangan tengah. Ah…memang Ayu sangat suka menyaksikan acara tersebut yang seakan membawa dia kepada kehangatan kasih seorang ibu. Ah..itulah terakhir kalinya aku melihat Ayu, adik kesayanganku itu.

Bandung, 31 Juli 2007
Setelah tiba di Bandung, hari itu Ningsih hanya berdiam diri dirumah Mbak Dewi. Dia masih lelah dengan perjalanan dari Kendari. Pikiran dan hatinya masih ada di Kendari, masih ada diantara bayang-bayang wajah orang yang dikasihinya dengan sejuta kenangan yang terus terlintas di benaknya. Sementara Ningsih terdiam sambil melamun, aku hanya terpaku menyaksikan keanggunan parasnya. Bahkan, aku hampir lupa telah meninggalkan orang yang seharusnya kujaga, kutemani dan kuajak berdoa setiap pagi. Kadang cinta memang membuat segalanya lepas kendali, lepas dari tanggungjawab yang ada dalam hidup dan hanya tenggelam dalam rasa yang tak terbendung. Sesekali aku mengingat Ayu di Kendari, entah kenapa sedih tidak terlalu menyelimuti hatiku karena kehadiran Ningsih yang masih menempatkanku di atas meja yang terletak tidak jauh dari tempat tidurnya.

“Ternyata di Bandung jauh lebih membosankan. Jauh lebih menjenuhkan dan tak ada kehidupan” Guman Ningsih dalam hatinya. Ia hanya mencuci piring di pagi hari sambil membantu Mbak Dewi memasak. Mbak Dewi juga masih terus mencari informasi pekerjaan ke teman-temannya untuk Ningsih. Mbak Dewi kerja sore hari di cafĂ© Valerina di daerah Dago dan pulang jam 10.00 malam. Sedangkan Mas Rendra kerja dari pagi hari sebagai buruh di pabrik elektronik di Cimahi. Ia pulang jam 04.00 sore dan lanjut kerja sebagai satpam di Hotel bintang empat dari pukul 07.00 malam sampai pukul 02.00 subuh. Hotel tersebut tidak begitu jauh dari rumah Mbak Dewi di daerah Ciumbeleuit.

Entah kenapa aku tidak terlalu suka melihat sikap dan kehidupan Pak Rendra. Ia lebih banyak diam dirumah. Mungkin juga sifatnya yang pendiam, sehingga tidak terlalu banyak bicara. Suatu sore saat Adzan Magrib tiba, aku termenung merindukan adikku Ayu, merindukan teman-teman sepermainan, merindukan suasana rumah dan tawa khas Rendy. Ah… aku terkenang bagaimana kalau sudah hampir Pukul 07.00 malam, aku sedang sibuk-sibuknya mempersiapkan diri untuk makan malam keluarga Pak Rono. Aku merindukan sekedar duduk bersama di beranda rumah sambil menikmati angin sepoy-sepoy dan gemuruh suara ombak.

Aku sedang menanti Ningsih yang sedang mandi seusai bangun tidur siang tadi. Aku menantikan wangi aroma tubuhnya saat keluar dari kamar mandi nanti. Memang ini moment paling kusenangi dalam kehidupanku. Mencium aroma wangi semerbak Ningsih setiap keluar dari kamar mandi. Ah… gelas-gelas lain pasti menantikan hal yang sama juga. Kalau aku bisa cerita, wanginya tersebut sangat khas dengan wangi sabun Lifebuoy dan aroma samphoo Pantene. Kadang pikiranku agak konyol dan kacau, kalau melihatnya keluar dari kamar mandi dengan tubuh yang hanya ditutupi handuk. Maklumlah…sekalipun aku hanya gelas, aku juga punya naluri lelaki, tapi pikiran itu kubuang jauh-jauh agar tidak menjadi khayalan yang berkepanjangan.

Semakin hari aku semakin mencintai Ningsih. Aku semakin yakin dia juga mencintaiku saat ini. Aku bisa lihat dari gayanya yang mulai berdandan dan semakin dewasa atau dari gaya berjalannya yang selalu diatur setiap melewati rak piring di dapur. Aku juga semakin sering dipakai olehnya saat membuat teh manis di pagi hari. Ah…hari-hari sepertinya indah, hanya ada dalam kebahagiaan dan cinta. Ya…Cinta - L o v e - ! Cinta yang semakin kuat, cinta yang semakin membara dan membelenggu hidupku. Tanpa ada beban, tanpa ada masalah, tanpa begitu banyak pekerjaan dan tanpa harus menahan bau mulut Pak Rono.

Betapa aku hanya menghabiskan waktu kebersamaanku dengan Ningsih dan menikmati indahnya sentuhan bibir merahnya, setiap kali dia meminum teh manis hangat di pagi hari. Sulit aku menceritakan bagaimana lembut dan indahnya bibir itu, bibir yang semakin mekar seiring dengan makin dewasanya Ningsih. Bibir itu selalu merah sekalipun tak pernah diolesi Lipstick dan selalu tampak basah sekalipun tidak pernah memakai Lipgloss. Memang baru tiga hari ini Ningsih minum teh manis setiap pagi, mugkin karena dinginnya suhu udara di Bandung yang berbeda dengan Kendari. Dan, itu menjadi kenangan dan perasaan indah yang tak terlupakan.

Tadi pagi menjadi kenikmatan sendiri bagi hidupku, saat ia meneguk teh manis hangat. Ia memakai baju pink dengan bando di rambutnya. Kamu tahu hari ini hari apa? Yah..., hari ini hari Valentine…hari kasih sayang sedunia. Aku merasa hari inilah tanggal jadian kami. Saat aku mengutarakan isi hatiku dengan mengatakan cinta, Ningsih hanya terdiam seperti tersipu-sipu malu. Ia hanya memegangku lalu meminum kembali teh manis hangat sambil menyaksikan serial drama di TV. Dan aku menikmati lagi sentuhan bibir lembut kekasihku itu. Sekalipun ia tidak menjawab “Ya” dengan pernyataanku, tapi aku yakin, sentuhan bibir itulah pernyataan cinta yang tak perlu diungkapkan dengan kata-kata.

Saat aku sharing dengan teman-teman gelasku yang baru di Bandung pada Dedi, Eva, Wina, Intan dan Noldy di dapur tentang kejadian itu, mereka malah menertawakanku. Apalagi Dedi, malah mencibirku sambil berkata “Dewin, Dewin..!! Kamu itu gelas bodoh, goblok dan paling tolol yang pernah kutemui di dunia ini. Nggak mungkinlah Ningsih mengerti apa yang kamu katakan? Jangankan mengerti ungkapan cintamu itu, mungkin mendengar apa yang kamu katakan saja sudah bagus. Kalau punya keinginan itu jangan terlalu tinggi sobat, nanti jatuhnya sakit kalau tidak kecapaian. Kamu tahu kan, kita bangsa gelas nggak mungkin jadian sama mereka yang peradaban dan kepintarannya jauh diatas kita. Bahkan mereka memang sudah diciptakan menjadi mahluk yang paling mulia diatas bumi ini. Derajat kita sangat jauh sobat dengan manusia!” sahutnya seraya menyadarkan aku.

Eva malah lebih menghina ku dengan kata-kata yang lebih sinis gaya anak gaul “Capee deehh…!! Kamu itu tolol atau bego, aku nggak tahu? Tapi yang kutahu, orang gila juga nggak akan percaya bualanmu itu! Jangan gila dong! Nggak mungkinlah manusia mau pacaran sama gelas. Nanti kalau kalian mau jalan-jalan ke mall, gimana dia menggandengmu? Aku belum bisa bayangkan kalau kalian benar-benar jadian, pasti waktu kiamat sudah dekat! Tinggal menunggu jagat raya ini meledak”

“Kalian tahu nggak kalau hari ini hari valentine? Hari kasih sayang sedunia?” Sahutku meredakan ejekan mereka. Lalu berkata dengan tenang pada mereka “Hari ini, hari yang benar-benar paling tepat untuk menyatakan cinta dan perasaan kita! Aku bisa lihat dan rasakan sikap dan gerak-gerik Ningsih setiap kali menyentuhkan bibir merahnya padaku. Apakah tidak terlalu berlebihan kalau aku bilang kami sudah jadian? Sudah mengikatkan tali hubungan dan saling mencintai” Sambutku dengan nada agak naik dan tetap sabar menjawab tanggapan dan ejekan teman-temanku di rak piring.

“Ah…kalian saja gelas bodoh dan kuno, yang tidak mengikuti peradaban dan perkembangan jaman, yang tak mengerti bahwa cinta boleh dimiliki oleh siapapun dan dapat dinyatakan pada siapapun, asalkan dia menerima tanpa paksaan” sahutku sambil meninggalkan mereka sekalipun mereka masih terus mengejekku.
Tiba-tiba Pak Rendra keluar dari kamarnya sambil membawa gelas bekas kopi tadi pagi, lalu meletakkannya tepat dekat dengan kami yang sudah bersih di rak piring. Kami semua diam, agar Pak Rendra tidak mendengar pembicaraan kami. Benny, gelas yang baru diletakkan Pak Rendra, menghampiri kami dengan muka agak pucat dan bingung. Entah apa yang baru dia lihat di kamar tidur, tapi kami penasaran ingin mendengarnya. Kami masih diam menunggu sampai Pak Rendra pergi dari dapur tersebut.

“Kamu kenapa Ben pucat gitu? Seperti baru lihat hantu di siang bolong?” sahut Noldy penasaran. Tapi Benny masih terdiam dengan nafas yang tidak teratur.
“Kamu habis melakukan kesalahan ya di kamar, lalu dipukul Pak Rendra?” sahut Wina dengan lembut.

“Jawab Ben! Hardik Dedi semakin penasaran. Jangan-jangan kamu lihat Pak Rendra sedang nonton flim porno di kamar ya? Atau, melihat Pak Rendra sedang melakukan hal-hal gila lainnya?” paparnya dengan bercanda.

Aku terdiam dan mulai cemas. Sepertinya Benny mendengar atau melihat sesuatu kejadian yang tidak mengenakkan atau menyangkut keselamatan dari keluarga Pak Rendra. Mungkinkah dia mendengar keluhan Pak Rendra dikamar, bahwa dia di PHK dari tempat kerjanya? Karena sering kali kami melihat Pak Rendra sikapnya tidak menentu dan selalu berdiam diri. Seperti sedang memikirkan sesuatu yang sangat berat. Dugaanku, dia mendengarkan tentang PHK pekerjaan, karena bangsa Indonesia, tempat kami berada sekarang ini, sangat memprihatinkan perekonomiannya. Sehingga, banyak sekali orang yang di PHK dan sangat sulit untuk mendapatkan kerja.
Aku berusaha menenangkannya lalu membiarkannya berbicara. Lalu, Benny berbicara dengan terbata-bata “Ningsih…Ning-sih..”

Aku terperanjat kaget, jantungku berdetak kencang dan langsung menoleh kearah kamar mandi. Memang sudah agak lama Ningsih ada di kamar mandi, tapi ada apa dengan Ningsihku? Sahutku dalam hati, sambil menenangkan Benny.

“Ada apa dengan Ningsih Ben?” sahut Wina dengan kaget.
Aku bingung sambil berpikir. Kalaupun ada sesuatu dengan Ningsih di kamar mandi, kenapa Benny yang tahu, kan dia dari tadi pagi ada di kamar tidurnya Pak Rendra? Pak Rendra juga tidak mengarah ke kamar mandi untuk memberikan pertolongan kepada Ningsih?

“Coba kamu bicara lebih tenang lagi.” Sahut Intan lebih sabar dan tegas.
Aku sesekali masih melihat ke arah kamar mandi, sambil berharap tidak terjadi sesuatu dengan Ningsih. Aku masih kaget dan belum mengerti apa yang terjadi dengan Ningsih, dengan Ningsih pujaan hatiku itu.

“Ningsih…!” sahut Benny dengan lirih yang membuatku semakin penasaran.

“Ningsih, Ning-sih… akan dijual malam ini oleh Pak Rendra ke lelaki yang barusan meneleponnya!!”

“Hahh…maksudmu apa Ben?” sahut Dedi sambil menatap Benny dengan heran.
Aku terdiam, antara kaget dan tidak mengerti dengan ucapan Benny. Kami saling berpandangan, lalu melihat ke arah Benny agar dia menjelaskan dengan tenang apa yang ia dengar selama berada di kamar Pak Rendra. Wina pun berusaha menenangkan Benny sambil merangkulnya. Kami masih bingung, terlebih aku, bingung dan kaget. Jantungku berdebar dengan kencang, merasakan ada yang tidak beres dengan Pak Rendra, terlebih menyangkut Ningsih. Meski aku belum tahu kepastiaan informasi yang didapat Benny. Aku semakin tak tenang sambil sesekali terus melihat kearah kamar mandi, berharap tidak terjadi apa-apa dengan Ningsih.

“Ada tamu Hotel SARINA, tempat kerja Pak Rendra sebagai satpam yang sedang mencari gadis dibawah umur. Katanya, tamu itu dari kemarin mencari gadis belia untuk melampiaskan nafsu bejatnya. Aku hanya melihat Pak Rendra berputar-putar dikamar seperti kebingungan” Lanjut Benny. Lalu, tiba-tiba terdengar bunyi telepon genggam Pak Rendra. Aku hanya mendengar percakapan mereka sekilas:

“Pak Rendra.., apakah ada gadis yang kutanya tadi malam? Kalau bisa yang berumur 15 tahun kebawah. Aku sudah bosan dengan wanita-wanita nakal di hotel ini, yang sudah berumur diatas 25 tahun. Aku ingin menikmati kepolosan gadis belia. Kalau dia masih perawan, aku berani bayar 40 juta dan buat Pak Rendra 10 juta” sahut tamu tersebut dari balik telepon.

“Pak Rendra hanya terdiam, mereka masih berbincang-bincang sekitar lima menit lagi” lanjut Benny. Lalu Pak Rendra menjawab “Aku ada barangnya, nanti malam jam 09.00 aku antar ke kamarmu bos!”

“Umur berapa dia Pak? Apa masih perawan?” dengarku dari penelopon tersebut.
“Masih umur 13 tahun, dia masih perawan. Baru aku bawa dari kampung” sahut Pak Rendra dengan nada lirih ketakutan. Nanti kusuruh dia masuk ke kamar bapak, namanya Ningsih” sahut Pak Rendra dengan bibir bergetar-getar. Lanjut Benny serius.
Aku kaget, sekaligus takut. Tangan dan kakiku mulai terasa dingin sambil meyakinkan Benny, apakah yang didengarnya itu benar dan tidak sedang bercanda?
“Ben, lho jangan ngerjain kami ya. Nggak mungkin Pak Rendra menjual keponakannya sendiri?” sahut Noldy kesal.

“Ngakk mungkin Ben, Pak Rendra melakukan itu. Kamu jangan becanda dong?” sahut Eva.
“Sumpah!! Itu yang kudengar selama dikamar Pak Rendra. Aku justru berpikir, apa yang dapat kita lakukan untuk menolong Ningsih! Sahut Benny dengan bijak.
Tiba-tiba Ningsih keluar dari kamar mandi dengan handuk putih, yang menutupi tubuhnya yang indah. Aku tak dapat lagi berpikir selain ingin berteriak saat Ningsih nanti menghampiri rak piring. Aku melihat bagaimana rambutnya diikat dengan bibir yang bergetar menahan dinginnya air bak sewaktu mandi. Tak ada lagi terlintas pikiran konyol dalam benakku, selain ingin menyampaikan pesan bahwa dia sedang dalam bahaya.

“Ningsih..Ningsih..kamu harus hati-hati, Pak Rendara ingin menjualmu malam ini” sahutku dengan lantang saat ia melewati rak piring. Teman-teman yang lainpun berteriak hal yang senada agar jangan mau diajak Pak Rendra keluar rumah, apalagi mengarah ke Hotel Sarina. Ningsih hanya berjalan dengan cepat tanpa mendegar ucapan kami, lalu masuk ke kamarnya.

Tiba-tiba Pak Rendra menghampiri kamar Ningsih dan berbicara dari balik pintu kamar tersebut “Ningsih…, Om mau mengajak kamu main ke tempat kerja Om malam ini. Jadi pakai pakaian yang agak bagus ya?”

“Kemana Om?” jawab Ningsih dari balik kamarnya.

“Ke Hotel Sarina. Disana malam ini ada pesta yang diadakan oleh Hotel Sarina. Jadi saat Om tugas, kamu bisa bermain sambil melihat-lihat Hotel Sarina dan menikmati makan malam” jawab Pak Rendra dengan manisnya.

“Iya Om, main ke hotel? Ningsih mau Om. Lagian Ningsih belum pernah melihat-lihat hotel dan kota Bandung pada malam hari!”

Kami hanya berteriak panik dari dapur agar Ningsih tidak mendengar bujuk rayu Pak Rendra. Aku samakin panik dan tak tahu harus berbuat apa-apa. Lima menit kemudian Ningsih keluar dari kamar dengan Anggunnya. Menawan sekali baju yang dikenakannya hari ini, serasi dengan rok putih yang agak mengembang. Aku setengah mati berpikir apa yang harus kulakukan pada Ningsih. Suaraku semakin serak berteriak, agar Ningsih tidak mendengar perkataan Pak Rendra yang sudah dimasuki entah iblis mana, yang sudah dirasuki oleh kebodohan dan ketamakan dunia ini. Aku kesal dan ingin menghajar Pak Rendra sampai pingsan. Dia lebih jahat daripada Pak Bondes yang menjadi keluarga paling kami takuti di bangsa gelas. Kok bisa dan tega-teganya menjual harga diri seorang anak yang masih keponakannya. Kawan-kawan yang lain masih terus berteriak dengan kerasnya. Lalu mereka siap-siap berangkat.

Aku melihat Pak Rendra dengan seragam satpamnya sedang mengenakan sepatu di ruang tengah, sambil melihat kearah jam yang sudah hampir Pukul 07.00 malam. Pak Rendra masih menunggu Ningsih yang masuk lagi untuk berkaca dikamarnya, seakan-akan ia akan datang ke istana dan akan bertemu dengan sang pangeran.

“Ah…Ningsihku sayang, kamu tidak perlu berdandan secantik itu?” sahutku dalam hati. “Kamu hanya akan dijadikan sebagai pemuas nafsu lelaki hidung belang, yang sudah entah berapa orang dibuatnya menderita.

“Om…! Ningsih bawa tas ya?. Mau bawa minum dibotol aqua buat persiapan disana” ungkap Ningsih dengan polosnya. Aku hanya melihat kata-kata itu keluar dari bibirnya yang menawan. Tak sempat aku melihatnya mengisi botol aqua, aku langsung dimasukkannya ke dalam tasnya yang transparan.

Kudengar teriakan teman-teman dengan paras berharap, diselimuti ketegangan:
“Dewiiin…!!!, kamu harus selamatkan Ningsih, bagaimanapun caranya. Kami percaya padamu Win!. Kalau nanti ibu pulang, kami akan berusaha menceritakan kejadian ini. Tapi, kami hanya berharap padamu!”

Dedi berteriak dengan lantang “Kamu harus bisa selamatkan Ningsih! Bukankah dia kekasihmu. Pokoknya kami bangsa gelas akan mendukung hubunganmu dengan Ningsih, jika kamu bisa selamatkan dia. Jadilah pahlawan bagi bangsa gelas, yang mampu menyelamatkan Ningsih dari kebiadaban manusia-manusia bodoh ini. Kamu harus buktikan bahwa kita lebih beradab dari manusia. Kamu harus bisa buktikan, bahwa kita lebih berprikemanusiaan dari mereka, sehingga harkat dan martabat kita dapat disamakan dengan manusia yang mengaku mahluk paling pintar dan beradab di dunia ini!”

Aku hanya mendengar kata-kata semangat mereka, tanpa tahu harus melakukan apa dengan keselamatan Ningsih. Aku hanya bertekad sampai titik penghabisan hidupku, aku akan berjuang untuk selamatkan Ningsih, pujaan hatiku. Aku tidak akan membiarkan lelaki biadab manapun yang akan mengambil kesuciannya.

Aku melihat dari balik tas Ningsih sepanjang perjalanan ke Hotel Sarina. Bagaimana wajah lugu tersebut sebenarnya sedang dibawa kedalam jurang kehancuran. Jurang yang akan membuat hidupnya hancur. Setelah sampai di hotel, Pak Rendra mangantar Ningsih ke pesta yang ada di ruang aula hotel. Membiarkan dia makan sepuasnya disana.
Pukul 09.05 malam, Ningsih yang sudah mulai bosan berputar-putar di sekitar hotel, tiba-tiba dipanggil Pak Rendra.“Ningsih.., sini!” sambil melambaikan tangannya tanpa muka berdosa. Pak Rendra menemuinya sambil merangkul pundak Ningsih dengan kasih. “Om punya kenalan seorang bos yang ingin bicara denganmu tentang pekerjaan. Nanti kamu tanyakan saja, pekerjaan apa yang cocok untukmu?”

“Pekerjaan?” Pikir Ningsih dengan wajah bertanya-tanya. “Pekerjaan apa Om?” sahut anak itu dengan polos, tapi Pak Rendra hanya mengajaknya berjalan.
Mereka sempat berbincang-bincang di Lobby hotel dengan pria yang baru dikenalnya. Lalu Ningsih diajak berjalan kearah kamarnya No. 309 sambil diiringi oleh Pak Rendra yang berjalan di belakang mereka, sampai Pak Rendra meninggalkan mereka berdua di kamar hotel terebut. Ningsih mulai bingung dan ketakutan saat Pak Rendra meninggalkannya dengan pria tersebut. Tapi, dia percaya pada Om nya yang telah mengenalkannya dengan pria bertampang ganteng dengan tubuh yang atletis. Saat itu Ningsih hanya disuguhi minuman. Sambil menebarkan senyum yang begitu hangat, pria tersebut menatap tajam mengarah pada tubuh Ningsih. Ningsih semakin kaku dan tidak tahu harus bagaimana menanggapi sikap pria yang belum dikenalnya tersebut.

Aku hanya melihat perbincangan mereka dari dalam tas Ningsih dengan hati yang gundah, sambil berharap apa yang didengar Benny adalah salah. Tapi tiba-tiba pria itu memeluk dan mengangkat tubuh Ningsih ke atas ranjang sambil menciuminya. Aku sangat panik dan tidak tahu harus melakukan apa, selain berusaha untuk keluar dari tas Ningsih. Saat Ningsih masih meronta dan ketakutan atas perbuatan pria itu, ia tiba-tiba teriak dengan suara yang sangat keras.

“Kamu teriak sekeras-kerasnya juga, tidak akan ada yang mendengarnya. Aku sengaja memilih kamar yang aman setiap kali berhubungan dengan gadis perawan yang biasanya sok melawan. Kamu nikmati saja, nanti juga kamu akan suka seperti gadis-gadis lain dan pasti dapat bayaran yang besar dariku” sahut pria itu dengan dingin, seakan dia sudah sering menghadapi gadis-gadis belia seperti Ningsih. “Apa permintaanmu, pasti aku kasih selama itu bisa kupenuhi?” ungkap pria itu dengan wajah tanpa bersalah.
“Dasar sakit jiwaaa…!” sahutku dengan keras seakan aku ingin memukul tepat di mukanya yang menyebalkan itu. “aku pasti bisa menolongmu Ningsih” ujarku dalam hati. Ningsih hanya meronta dan menangis saat bajunya sudah mulai dibuka oleh pria itu.
Lalu, sambil menangis ia minta ijin ingin ke toilet. Ia sadar tidak dapat lepas dari cengkraman pria itu. Ia sadar, tidak akan bisa bebas dari kamar yang menyesakkan itu. Sambil membawa tas, ia hanya terdiam menangis sambil bercermin di kaca toilet. Ia menyesal akan hidup ini, ia menyesal datang ke Bandung, terlebih ia sangat kesal kepada Pak Rendra yang belum bisa masuk akalnya, bahwa Om Rendra tega menjerumuskannya ke lubang maksiat, lubang neraka.

Ningsih hanya berkaca di toilet, sampai akhirnya Ningsih melihat botol pembersih lantai di sudut toilet tersebut. Ia tetap menangis ketakutan, lalu mengeluarkanku dari tas dan menuangkan cairan tersebut.
“Kamu harus teriak Ningsih atau hajar saja mukanya dengan kayu atau apapun yang kamu lihat di dekatnya. Kamu pasti selamat, aku akan menolongmu!” sahutku dengan cemas, saat cairan itu sudah mulai dituangkan dalam tubuhku. “Bunuh diri bukan solusi de..?” Teriakku dengan sekeras-kerasnya, tapi Ningsih tidak pernah mendengar teriakkanku.

Saat tegukan pertama, aku hanya meneteskan airmata, melihat bagaimana pujaan hatiku akan mati dengan cairan yang diminum dari tubuhku. Tiba-tiba pria itu masuk dan mengangkat Ningsih, tanpa sempat melanjutkan tegukkan berikutnya. Aku hanya melihat Ningsih meronta saat pria itu mengangkatnya keluar dari kamar mandi. Dan, tiba-tiba Ningsih mengayunkan tubuhku yang masih dipegangnya dengan sekuat tenaganya, tepat mengarah ke kepala pria tersebut. Aku merasakan inilah saat yang tepat mengerahkan tenaga penghabisan demi Ningsih. Aku arahkan tendanganku tepat pada mukanya, saat hempasan tangan Ningsih semakin mendekat dengan cepat terhadap muka pria tersebut, hingga tiba-tiba “Praanngg…”

Aku terlepas dari pengangan Ningsih. Ah… Aku merasa dunia berputar dan gelap, sesaat setelah tubuhku menabrak kepala pria tersebut, seperti menabrak tembok beton. Aku mulai merasakan ada yang tidak beres dengan tubuhku, sambil menyaksikan darah mengalir dari pelipis mata pria tersebut. Sesaat, setelah beberapa detik berlalu, aku menyadari kaki kananku telah patah, aku mulai merasakan tulang igaku remuk dan kedua tangan yang terlepas dari setiap engsel tubuhku, terpecah-pecah tepat di depan televisi yang menghadap ke tempat tidur Ningsih dihempaskan. Aku merasakan sakit yang tidak tertahankan, saat tubuh ini terpecah-pecah berserakan diantara perabotan mewah yang ada di hotel ini. Aku sekarat dan mulai susah hanya untuk sekedar bernafas.

Aku hanya melihat di akhir nafas hidupku, bagaimana pria itu memaksa tubuh mungil Ningsih yang meronta-ronta untuk melayani nafsu bejatnya.
“Duhai hidup yang menyakitkan…! Apakah aku memejamkan mata diakhir hidupku, dengan melihat orang yang kukasihi sedang butuh pertolongan untuk mempertahankan kesuciannya? Sedang butuh pertolongan untuk harga dirinya, butuh pertolongan untuk lepas dari lelaki biadab.”

“Ah… andaikanpun aku mati dengan tubuh yang terpecah-belah ini, aku rela. Tapi, aku tidak ingin Tuhan…!, aku tidak ingin mati dengan ketidaktenangan yang menyesakkan, dengan melihat orang yang paling kukasihi sedang mengerahkan kekuatannya dibalik ketidakberdayaannya untuk lepas dari lelaki yang akan merenggut mahkota kesuciannya!”

“Tuhan tunjukkanlah kekuatan-Mu, kirimkanlah malaikat kecil-Mu untuk membantu Ningsih!” Semakin Dewin melihat ketidakberdayaan Ningsih dalam keadaannya yang sekarat tak berdaya, ia berteriak sekuat tenaga; “Tuhaannn …Tolonglah Ningsih!”
Dengan tubuh yang terpecah belah tanpa bisa berbuat apa-apa, Lirihnya dalam hati dengan kondisi sekarat. “Ah…Sungguh pahit apa yang kualami kini. I Love You Ningsih…!”

Sampai akhir ajal menjemput Dewin, ia tidak dapat menolong Ningsih. Dewin melihat bagaimana Ningsih terus meronta-ronta dengan kekuatannya, sampai akhirnya menutup mata di penghujung hidupnya.

Waktu tepat Pukul 02.00 pagi, Pak Rendra mengetuk pintu kamar No. 309 sambil merangkul Ningsih yang terus menangis. “Thanks Pak Rendra!” Sahut pria tersebut sambil menyelipkan amplop yang tebal ketangan Pak Rendra.

Pak Rendra dengan wajah tanpa dosa membawa Ningsih pulang. Dengan dingin ia mengancam, agar Ningsih tidak cerita kepada siapa-siapa atas kejadian tersebut, termasuk kepada Mbak Dewi apalagi kepada keluarganya di Kendari. Pak Rendra memintanya untuk berhenti menangis dan menyeka air matanya.

“Bilang saja ke Mbak Dewi, kamu hanya saya ajak melihat-lihat hotel dan makan di pesta tadi” sahutnya dengan lembut. Tapi Ningsih tak menjawab sepatah kata pun sambil menyeka air matanya yang terus mengalir. Mbak Dewi tidak curiga sedikitpun saat mereka tiba di rumah, karena Pak Rendra sebelumnya sudah memberi pesan melalui SMS, membawa Ningsih ke tempat kerjanya. Ia hanya membukakan pintu, berbincang sebentar sambil menahan kantuknya, lalu masuk ke kamar melanjutkan tidurnya.

Malam itu, Ningsih hanya menangis. Lalu, Keesokan harinya, Ningsih meminta kepada Mbak Dewi agar ia pulang ke Kendari. Tapi, Mbak Dewi hanya bertanya kenapa tiba-tiba Ningsih ingin pulang kampung. Mbak Dewi terus mencecarnya dengan pertanyaan sampai akhirnya Ningsih menangis dan meminta dengan sangat.
“Mbak, Ningsih ingin pulang ke Kendari, Ningsih sudah rindu dengan keluarga” sahutnya sambil menangis ketakutan. Mbak Dewi mulai bertanya-tanya dalam hati sambil menatap Pak Rendra dengan tatapan curiga.

Justru Pak Rendra bertanya dengan lembut kepada Ningsih. “Kamu tidak betah ya tinggal disini atau kamu sudah bosan tinggal dirumah Om? Kalau tidak betah, bilang saja Sih, biar kita ngerti apa solusinya. Atau Ningsih sudah kengen pada keluarga di Kendari ya?”

Ningsih hanya menangis tersedu-sedu, lalu Mbak Dewi memeluknya dengan penuh kehangatan kasih. Namun, Ningsih semakin menangis. Tangan lembut Mbak Dewi membawanya terhanyut akan kasih seorang ibu untuk sekedar berbagi beban yang dialaminya. Ia hanya teringat kejadian semalam, sisi gelap hidupnya yang tak akan pernah dilupakannya. Ia tidak ingin berada di tengah-tengah keluarga yang berhati dingin seperti Pak Rendra, yang tega menjual dan menghancurkan masa depannya.
Dengan tangis yang tersedu-sedu, Ningsih hanya berkilah tanpa dapat mengucapkan keluh kesahnya: “Aku rindu keluargaku Mbak..! Ningsih ingin secepatnya pulang ke kendari. Ningsih ingin tetap tinggal di Kendari…!”

Mbak Dewi terus menenangkannya dengan penuh tanda tanya besar, sambil sesekali menatap ke arah Pak Rendra. Ia bertanya dengan sikap Ningsih yang tiba-tiba berubah, bertanya dalam hati, apa yang terjadi dengan Ningsih setelah pulang dari hotel tadi malam.

Tapi Pak Rendra meyakinkan Mbak Dewi, bahwa Ningsih masih kecil dan belum bisa jauh dari orangtua dan keluarganya.

“Biar saja Ningsih pulang Bu, ia masih terlalu kecil untuk lepas dari keluarganya!” sahut Pak Rendra sambil menghisap rokoknya dengan tenang.
Mbak Dewi hanya menggerutu sambil mengernyitkan dahinya “Tapi darimana duit kita Mas untuk mengantar Ningsih ke Kendari? Kendari itu tidak dekat lho Mas dan dibutuhkan dana besar untuk kesana?”

“Kalian naik pesawat saja kesana, pakai saja dulu uang bonus dari kantor yang baru dikasih oleh bosku kemarin” sahut Pak Rendra seakan-akan tidak pernah melakukan kebodohan dan kesalahan besar terhadap hidup Ningsih.

Lama berbincang-bincang, Pak Rendra mengusulkan naik pesawat saja dari Jakarta ke Kendari. Lalu, ia memberikan uang sebesar 5 juta pada Mbak Dewi, tanpa pernah memberikan uang pada Ningsih dari pria bejat tersebut.

Keesokan harinya, Mbak Dewi masih terus bertanya pada Ningsih, saat mereka membeli oleh-oleh khas Bandung. Esok lusanya, Mbak Dewi coba meyakinkan keraguan dan tanda tanya yang besar dalam hatinya sambil mengantarnya ke Kota Kendari, saat menunggu Bus di BSM dan saat berbincang-bincang setelah sampai di Bandara Soekarno Hatta. Ningsih hanya menjawab sekenanya saja atas pertanyaan Mbak Dewi tanpa pernah menceritakan kejadian apa yang pernah terjadi atas hidupnya saat dibawa Pak Rendra ke Hotel Sarina.

Tiga hari sudah Ningsih tiba di rumahnya, di Kota Kendari. Ayu hanya mendengar dari balik jendala tangis sedih Ningsih dengan penyesalan mendalam. Sungguh…tidak mudah apa yang dihadapi Ningsih saat ini. Sejak kehadirannya di rumah tersebut, Ayu, adik Dewin, melihat ada perubahan di hidup Ningsih. Entah apa yang dialami Ningsih, Ayu tidak tahu, tapi yang pasti dia merasakan ada beban berat, pukulan yang menyakitkan atas hidupnya selama sebulan di Bandung. Ayu hanya menanti-nanti kehadiran kakaknya, Dewin, agar segera di keluarkan dari tas Ningsih. Sudah hampir satu minggu, Ningsih hanya menangis setiap malam dikamarnya dan berubah menjadi pendiam tanpa pernah mengeluarkan Dewin. Meski gelas-gelas di dapur terus memperbincangkan Ningsih, tapi tidak satu gelaspun, bahkan tidak satu orangpun tahu apa yang telah terjadi dengan Ningsih.

Ayu tidak tahu, jauh di kota Bandung sana, Dewin, kakak kesayangannya, sudah terpecah-belah meregang nyawa, sudah ada di tempat sampah hotel mewah yang telah dibersihkan oleh petugas-petugas hotel dan entah sudah diteruskan ke TPA mana. Ayu tidak tahu bahwa kakaknya, Dewin, sudah mati dengan tragis, tragis bukan hanya pecah dan terbelah-belah, tapi tragis karena di akhir hidupnya, ia tidak dapat menolong pujaan hatinya, menolong orang yang sangat dikasihinya. Dalam kesendiriannya, Ayu hanya berdoa untuk kakaknya, Dewin, berdoa untuk orang-orang yang dikasihinya dan berdoa untuk Ningsih, yang telah kembali ke Kota Kendari…



Bandung , 14 Feb ’08
Saat-saat mengisi waktu luang dikantorku. Coba menuangkan khayalan kedalam tulisan,
Bagaimana indahnya cinta dan sakitnya perpisahan dengan orang yang kita kasihi.
Dewinson H. A

1 komentar:

  1. Nih cerita tentang kisah love yg tidak kesampaian krn adanya perbedaan yg sangat mendasar... yg pst butuh penalaran yg cerdas utk menangkap filosofi yg terkandung di dalamnya...

    BalasHapus